Twenty Eight

19.5K 883 9
                                    

Bagas mau nya apa sih? Udah nerbangin aku, sekarang malah jatuhin aku gitu aja. Sabar, sabar.

Aku mengikuti Bagas menuju pintu utama rumah Lilly. Sebenarnya sih aku pingin marah, nangis, semuanya deh. Tapi aku tahan, aku males aja nangis di hadapan Bagas, and Lilly itu.

"Bagas?" Teriak Lilly. Sepertinya sih dia bahagia. Membuka pintu, lalu muncullah lelaki pujaannya. Main peluk Bagas lagi. Aku jadi obat nyamuk deh kalo gini. Kalo aku pulang, kan bahaya. Aduh, ini gimana dong? Aku harus makan hati terus nih? Astaga, sabarkan hamba Ya Tuhan.

Setelah melepaskan pelukannya pada Bagas, Lilly mengajak Bagas memasuki rumahnya. Ini sebenarnya Lilly gak tahu ada aku, apa emang sengaja gak ngajak aku ya?

"Vy, ayo." Bagas mengajakku. Oh, dia masih ingat padaku? Aku pikir dia sudah lupa bahwa aku ada disini.

Lilly entah pergi kemana sekarang. Aku dan Bagas duduk di sofa rumah Shilvy. Rumahnya luas, tapi sepi. Bad Home!

"Loh, ada Shilvy juga? Maaf, tadi aku gak tahu." Ucap Lilly saat dia baru datang. Aku hanya senyum, senyum tipis. Sangat tipis!

"Nak Bagas? Udah lama gak kesini. Tante kangen deh." Ucap seorang perempuan yang sepertinya seusia dengan Mama. Panggil aja Tante deh. Tante itu menghampiri Bagas dan memeluk Bagas. Bagas pun membalas pelukannya. Sepertinya tante itu sudah dekat sekali dengan Bagas.

"Bawa siapa ini Gas? Kok baru pertama kali bawa orang kesini? Adeknya ya?" Tante itu menatapku seperti tatapan tajam gitu. Emangnya salah ya aku datang kesini bersama Bagas?

"Iya Ma. Kenalin ini Shilvy teman sekolah aku." Hell. Lilly bilang IYA? Seumur-umur aku gak pernah berharap menjadi adik dari Bagas Adikara Robinson! Lagian kenapa sih Bagas gak buka mulutnya? Tinggal ngomong kalo aku ini pacarnya susah amat!

"Teman kamu? Kok teman kamu kayak gini sih Ly?" Tante itu menatapku tambah tajam. Emangnya ada yang salah dari diriku?

"Mau gimana lagi ma? Kan dia adiknya Bagas, jadi aku harus deketin kan?" Ini ngomongnya kok tambah ngelantur ya? Apa-apaan sih ini semua? Bagas, open your mouth!

"Nak Bagas, Lilly sejak tadi menunggumu. Ajak dia jalan-jalan ya. Biar Shilvy disini saja." Aku disini? Ogah banget! Oke, Bagas tetep gak mau ngomong?

"Gak usah tante. Gue mau pulang sendiri!" Ucapku sarkatis. Aku tak peduli dengan tatapan Bagas itu. Dengan tatapan semua orang yang ada disini. Aku sudah tidak kuat. Apa memang Bagas hanya menganggapku sebagai adiknya? IDC!

Aku berlari keluar dari kawasan rumah Lilly ini. Aku menangis? Iya! Siapa sih yang gak nangis kalo ngelihat pacarnya gak belain pacarnya sendiri? Malah diem!

Aku berbelok di pertigaan jalan. Komplek ke rumahku masih lumayan jauh, tapi aku tetap harus berlari.

Lariku terhenti saat aku melewati pertigaan kedua. Disana ada banyak lelaki berotot dan bertato. Siapa mereka?

Aku berjalan dengan langkah tergesa-gesa. Aku melihat ke arah jam tanganku. Hah? Udah jam 21.00? Pantesan aja komplek udah sepi. Saat aku lewat di depan lelaki itu, aku semakin takut. Lelaki itu sepertinya mabuk.

"Sendirian aja nih? Sini sama abang." Ucap lelaki berambut pirang. Dia menghampiriku. God, please help me!

Aku tak menghiraukan lelaki itu. Aku tetap berjalan, sambil berdoa. Semoga Tuhan membantuku. Tiba-tiba langkahku terhenti. Ada yang mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat. Siapa ini? Jangan-jangan? OhMyGod!

"Mau kemana sayang? Sini dong sama abang. Kita mainan yuk." Ucapnya sambil menarik pergelangan tanganku.

"Tolong. Tolong. Tolong." Teriakku. Lelaki itu malah tertawa. Apa ada yang salah?

"Mau minta tolong pun, gak ada yang nolongin neng. Ini udah malam. Nurut aja deh." Ucapnya. Aku merasa keringat mulai bercucuran di tubuhku. Tuhan, tolong hamba!

"Pejamkan matamu." Aku mendengar bisikan seseorang. Tapi suara ini familiar. Jadi aku menurutinya. Aku memjamkan mataku. Ada suara. Seperti suara orang berkelahi. Cengkeraman tangan yang ada di tanganku pun terlepas.

"Buka mata kamu Vy. Semuanya udah baik-baik aja." Ucap seseorang itu. Dengan hati-hati aku membuka mataku. Ternyata semua orang bertato itu sudah pergi? Dan Ryan? Ada Ryan? Jadi yang menolongku Ryan?

Aku langsung memeluk Ryan. Aku sangat berterima kasih karna dia telah menolongku. Aku menangis. Aku tidak tahu mengapa aku menangis. Aku semakin mempererat pelukan itu. Aku takut. Aku takut kejadian barusan terulang kembali.

"Jangan nangis. Ada aku. Udah ya jangan nangis." Ryan menepuk punggungku.

Lama-kelamaan tangisanku mereda. Aku melepaskan pelukanku. Aku mendongak menatap Ryan—dia lebih tinggi dariku. Ryan menatapku dengan senyumannya itu.

"Jangan nangis lagi ya." Ucapnya mengelus puncak kepalaku. Aku mengangguk dan tersenyum.

"Ayo pulang. Aku antar." Ryan menggenggam tanganku. Aku pun membalas genggaman tangan itu. Rasanya ada yang aneh saat Ryan mempedulikanku seperti ini. Padahal, dulu dia sering mempedulikanku, tapi aku biasa saja. Ada apa ini?

***

"Gila tuh anak!" Teriak Chelsea sambil menggebrak meja di kelas. Spontan semua anak di kelas menatap Chelsea sinis.

"Kalo ngomong gak usah pake TOA!" Ucapku sambil menutupi mukaku. Malu kali aku diliatin juga kayak gitu.

"Maunya Bagas apaan coba? Terus, siapa sih sebenarnya Lilly?" Salahku ini. Kenapa aku harus cerita tentang semalam kepada Chelsea? Aku lupa jika dia tidak pernah menyukai Bagas.

"Udah lah biarin. Yang penting aku baik-baik aja kan?" Ucapku. Semoga aja dia mengerti maksudku mengalihkan pembicaraannya.

"Kamu juga sih Vy. Kan udah dari dulu aku bilang, mending sama Ryan aja daripada si cowok papan itu." Lah kok malah bahas ginian sih?

"Udah diem aja deh. Aku lagi gak mood." Aku menenggelamkan wajahku di lipatan tanganku. Malas banget kalau harus bahas masalah tentang BAGAS!

Aku berjalan menuju loker sendirian. Chelsea masih menaruh buku di perpustakaan atas perintah Mrs. Elly. Aku terus melangkah. Aku mwlihat Ryan tengah berdiri merapikan sesuatu di lokernya. Lokernya dan lokerku tidak terlalu jauh, jadi aku masih bisa sering-sering mengobrol dengannya.

"Ryan." Ucapku dengan senyum yang sangat lebar. Dia mengehentikan aktifitasnya, lalu membalas senyumanku.

"Ada apa Vy?" Ucapnya.

"Gak ada sih. Kamu lagi ngapain? Kayaknya sibuk banget?" Ucapku penasaran.

"Cuman ngerapiin loker aja sih." Ucapnya. Aku mengangguk-anggukan kepala.

"Yaudah deh, aku balik ke loker dulu ya. Bye Yan." Aku pergi sambil melambaikan tanganku. Kenapa aku merasa nyaman ya berdekatan dengan Ryan? Hey, jangan bilang jika aku jatuh cinta padanya. Never! Never!

My Arrogant BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang