"Papanya Lovina?" Hendra menambahkan sedikit sambal dan kecap kedalam mangkuk bubur ayam yang baru saja disajikan di depannya. "Sama Lovina juga, 'kan? Maksudku, bukan hanya kamu yang ketemu sama papanya?"
Dena mengerutkan kening, manik matanya menatap lelaki dihadapannya yang kini asyik menyantap bubur ayam tanpa sedikitpun melihat kearahnya, "Kok kamu nggomongnya begitu? Namanya diajak sama Lovina buat nemenin ketemu sama papanya, berarti ya jelas sama Lovina. Kamu kenapa sih?"
"Ma, Mau itu." Fillio menunjuk kerupuk yang ada di mangkuk.
Pandangan Dena teralihkan pada balita berpipi gembul di sampingnya. Ia memberikan kerupuk kepada Fillio dan perlahan mulai menyuapinya.
"Kok malah diem? Gimana, boleh enggak?" Dena diam sejenak, tetapi Hendra tetap tidak menanggapinya, "Kalau kamu nggak boleh ya sudah, nanti tinggal aku bilang sama Lovina kalo besok aku ada acara sama kamu."
"Eh, ketemu disini. Mas buburnya satu ya, nggak pakai kerupuk," ucap gadis berbadan tinggi semampai dengan gaya rambut long curls.
Dena menatap heran teman satu indekos yang kini dengan santainya sudah duduk di samping hendra tanpa permisi. Tidak hanya Dena, Hendra pun sempat tertegun saat menatap ke arah Naila.
"Ndra, bagaimana keadaan Mamamu sekarang? Sudah baikan?" tanya Naila dengan sengaja melirikkan matanya ke arah Dena.
Seketika Hendra melihat kearah Dena yang masih asyik menyuapi Fillio, "Sudah sehat."
Dena terperanjat, tetapi ia tetap berusaha tenang sembari menyuapi Fillio. Dena bersikap seolah tidak mendengar ucapan Naila.
Akhir-akhir ini Dena merasa bahwa Naila sudah mulai terang-terangan mencari perhatian dan menggoda Hendra. Dena sebenarnya merasa risih dengan Naila. Namun, setiap ia membicarakan hal ini, Hendra selalu menyangkalnya. Hendra berpikir bahwa Naila sama halnya Lovina. Apa yang Naila lakukan masih dalam taraf wajar yaitu sebatas perlakuan sesama teman satu jurusan di kampus.
"Oh, Alhamdulillah. Soalnya waktu terakhir kali ke rumahmu itu, Tante Nita masih kelihatan lemah gitu. Kapan-kapan aku ikut ke rumahmu lagi ya, kangen pengen ngobrol sama Tante Nita dan Ratri," ucap Naila dengan sengaja menekankan kata rumahmu dengan senyuman sedikit tersungging di bibir dan matanya melirik Dena.
Hendra nampak pucat pasi. Manik matanya menelisik setiap pergerakan kekasih hatinya yang duduk tepat di hadapannya. Ia memilih diam dan segera menyudahi makannya. Hendra mengambil selembar tisu di depannya kemudian menyeka sudut bibirnya.
"Fillio sayang, makannya sudah atau lagi?" Dena mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ia paham Naila sengaja memancing emosinya dan mencoba memperkeruh hubungannya dengan Hendra. Dena tidak akan membiarkan rencana Naila berhasil dengan mudah, meskipun Ia harus bersusah payah menahan emosinya.
"Dah Mama, dah enyang," jawab Fillio yang masih asik dengan kartu kata yang tadi diberikan Dena.
"Ya sudah, minum dulu ya, habis ini pulang. Pasti Uti sudah menunggu, katanya mau jemput papa sama tante, Dek Ve dan Dek Val," ucap Dena sembari menyodorkan botol minum berisi air putih kepada Fillio.
"Sayang, sudah makannya? Anterin Fillio pulang yuk. Soalnya tadi katanya Fillio mau diajak jemput papanya ke Bandara," ucap Dena sembari sedikit menyunggingkan senyumannya seolah tidak ada masalah apapun.
"Halah, padahal yang pengen cepet ketemu bukan Fillio. Pinter banget cari alasan dan kesempatan buat deketin duda ganteng dan kaya," cibir Naila.
"Yang, apa kamu masih mau ngabisin buburmu dulu? Kalo iya aku sama Fillio duluan ya." Dena tidak menghiraukan perkataan Naila.
"Eh, sudah kok Yang. Ayo kita antar Fillio sekarang." Hendra segera bringsut mengikuti Dena dan Fillio yang sudah berjalan menuju ke penjual bubur untuk melakukan pembayaran tanpa sedikitpun menghiraukan Naila yang menatap mereka dengan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Fillio?
Non-FictionDena tidak menyangka pertemuan dengan seorang balita yang memanggilnya Mama akan berbuntut panjang. Ia harus berperan sebagai Mama demi membantu kesembuhan balita tersebut. Fillio, balita berusia tiga tahun menemukan sosok Mama pada Dena. Fillio akh...