27. Patah Hati

7.7K 772 44
                                    

Dion melihat kerutan samar pada dahi Pak Rohadi. "Untuk permintaanmu, Bapak rasa terlalu tergesa-gesa. Semuanya harus kita bicarakan dahulu. Lagipula, sepertinya Dena pun membutuhkan waktu. Mengenai ucapan ibu barusan, jangan diambil hati."

"Iya, Nak Dion. Pakde paham maksud Nak Dion itu baik. Namun, untuk menikahkan Dena hari ini, Pakde rasa terlalu tergesa-gesa," sahut Pakde Harno.

"Sekarang kita bicarakan niat awal Nak Dion sekeluarga datang kesini dahulu. Masalah pernikahan mau kapan dan bagaimana, kita bicarakan setelahnya. Gitu to Di?" Lanjut Pakde Harno.

"Iya Mas, lebih baik begitu. Masalah lamaran Nak Dion, lebih baik Dena yang menjawabnya. Bapak manut saja. Soalnya yang akan menjalani 'kan Dena." Pak Rohadi mengalihkan pandangannya pada Dena, "Sekarang gimana Nduk keputusanmu?"

Dena bergeming. Ia mencoba mengendalikan isak tangisnya. Ia berusaha menyerap kekuatan yang ditransfer Uti Fillio melalui elusan lembut penuh kasih pada bahu kirinya.

"Nikahkan Dena sekarang!" seru Dena dengan tatapan mata tertuju pada Fillio yang tengah bergelayut manja dalam pangkuannya.

Semua orang terkesiap mendengar penuturan Dena, tak terkecuali Pak Rohadi. "Nduk, ojo grusa grusu. Jangan tergesa-gesa. Bapak nggak masalah kamu mau menikah, tetapi semuanya kan harus dipikirkan masak-masak. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Soalnya ini menyangkut masa depanmu jadi harus ...."

"Apa peduli Bapak sama masa depanku?" teriak Dena memotong pembicaraan Pak Rohadi.
Telalu banyak hal berkecamuk dalam benak Dena hingga membuatnya lepas kendali.

Mata Pak Rohadi membeliak mendapati tatapan penuh amarah dari kedua netra Dena diiringi tangisan balita yang berada dalam pangkuan putri sulungnya.

Fahri beranjak dari tempat duduknya. Ia menghampiri Fillio, "Ayo ikut Om main di luar sama Dek Val, yuk." Melihat Fillio yang tidak menanggapi, Fahri kembali memutar otaknya. "Fillio, Mama mau bicara sebentar sama Kakung. Fillio ikut Om ke toko dulu, yuk. Fillio mau apa? Kalau sama Om, Fillio mau apapun boleh. Permen lolipop, coklat, es krim, rambut nenek, susu kotak atau apapun semua boleh."

Fillio menolehkan kepalanya kearah Fahri kemudaian melihat ke wajah Dena. "Boleh pelmen banyak-banyak Mama?" Melihat anggukan kepala Dena, Fillio pun meraih uluran tangan Fahri.

Setelah menerima kunci mobil dari Dion, Fahri lekas membawa Fillio keluar rumah.

"Nduk ..." Pak Rohadi menjeda ucapannya, "Maaf jika selama ini bapak banyak salah sama kamu. Kamu itu anak perempuan bapak, bukan barang. Jadi sebagai orang tua bapak..." Belum menyelesaikan ucapan, Dena kembali menyelanya.

"Iya, Dena memang bukan barang Pak! Dena juga punya hati dan perasaan!" Dena kembali menghunuskan tatapannya ke wajah Pak Rohadi.

"Selama ini Dena memilih diam karena ingat sama ucapan Ibu sebelum koma. Ibu bilang kalau Dena harus manut, nurut sama Bapak. Dena nggak boleh nakal, apalagi sampai nyusahin Bapak. Simbah juga, sebelum meninggal bilang kalau Dena harus jadi anak yang sabar, kuat dan pinter biar Ibu bahagia dan tenang di sana." Dena mencoba mengatur deru nafas yang memburu, menghapus semua airmatanya dengan ujung kerudungnya dengan pandangan terus mengarah pada wajah Bapaknya.

"Namun, apa pernah terlintas dalam benak Bapak untuk sedikit saja mengerti perasaan Dena, Pak? Dena yang baru saja kehilangan ibu harus terusir dari rumah sendiri. Belum juga kering airmata menangisi kepergian ibu, Dena harus kembali kehilangan simbah. Apa pernah bapak menenangkan, menghibur, ataupun sekedar memeluk Dena barang sejenak? Enggak Pak! Nggak pernah sama sekali. Bapak justru sibuk memperkenalkan keluarga baru kepada sanak saudara. Sibuk bermain dengan anak-anak Bapak yang bahkan sebelumnya Dena tidak pernah tau bahwa Bapak memiliki anak lain selain aku. Dena hancur, Pak. Hati Dena hancur lebur!" Pundak Pak Rohadi memerosot, ia pun menyandarkan tubuhnya ke sofa.

Mama Fillio?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang