"Mas, terima kasih ya. Dena sangat bahagia. Dena kira, Mas tidak akan mengizinkanku bertemu lagi dengan Lovina pascakejadian waktu itu." Dena melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Dion. Ia lalu menyandarkan kepala pada punggung Dion.
Dion yang tengah memasukkan laptopnya kedalam tas, seketika tertegun. Kedua sudut bibirnya tertarik sempurna. Ini kali pertama Dena memeluknya terlebih dahulu, biasanya Dionlah yang selalu berinisiatif. Ia perlahan mengelus jemari Dena yang kini terpaut di perutnya. "Dia memang putri dari saingan Mas dan terang-terangan menentang hubungan kita. Namun, melihatmu bersedih karena kehilangan seorang sahabat, membuat Mas berfikir."
Dion melepaskan cengkeraman tangan Dena. Ia memutar tubuhnya, merengkuh tubuh mungil istrinya kedalam dekapan. Sebuah kecupan mendarat pada pucuk kepala Dena. "Jika aku diposisinya sebagai sahabatmu, pasti akan merasakan hal yang sama. Khawatir kalau kedepannya langkah yang kau ambil ini ternyata salah. Membuat hidupmu tidak bahagia atau bahkan justru terluka. Padahal menurutnya ada sosok papanya yang ia yakini sangat bisa membuatmu bahagia. Eh, malah kamu tiba-tiba menikahi orang asing yang tidak jelas seperti apa dan tanpa sepengetahuannya. Itu reaksi spontan yang wajar dilakukan oleh seorang sahabat yang tidak ingin kamu hidup menderita." Dion kembali mendaratkan ciumannya pada pucuk kepala Dena. "Dia sahabat yang baik. Sahabat yang tak segan-segan menegur bahkan memarahimu ketika dia merasa kalau kamu telah salah langkah. Bukankah memang seharusnya sahabat seperti itu. Tidak selalu sekata. Jadi Mas merasa kalian hanya membutuhkan jeda untuk kembali bersama."
Dena mendongkakakan kepalanya, ia menatap mata teduh suaminya. "Terima kasih Mas." Bulir bening pun mengalir perlahan.
Dion melonggarkan pelukannya, kedua tangannya lekas-lekas menghapus air mata Dena. "Sayang, jangan menangis. Mas melakukan ini semua karena ingin membuatmu bahagia."
Dena menganggukkan kepalanya sebanyak dua kali, lalu kembali menenggelamkan diri ke dalam pelukan suaminya.
Dion mengalihkan pandanggannya kearah pintu yang tiba-tiba terbuka. Nampak Fillio berlari kearahnya.
"Ayo papa. Ayo papa, cepetan naik pesawat galudanya," teriak Fillio yang kemudian turut memeluk Dena yang masih berada dalam pelukan Dion.
Dion terkekeh "Sepertinya Lio sudah tidak sabar ingin naik pesawat."
"Em em," Fillio melepaskan pelukannya, mendongkakkan kepala kearah Dion dengan senyum merekah pada wajahnya disertai anggukan riang.
Dion melepaskan pelukannya. Ia berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Fillio. "Kiss me," ucap Dion yang disambut dengan kecupan singkat Fillio pada bibirnya.
"Kismimol," seru Fillio diiringi kecupan dari bibir mungilnya pada bibir Dion berulangkali.
Dion tergelak, "Hey, seharusnya papa yang bilang kiss me more." Dion mengarahkan pandangan kearah Dena yang menatapnya dengan penuh haru. "Sepertinya memang dia benar-benar peniru handal."
Dion merengkuh tubuh Fillio. Ia kembali berdiri dengan tangan kiri mendekap tubuh mungil yang bergelayut manja. Tangan kanannya meraih jemari kiri Dena. Wajahnya mendekati Dena kemudian memberikan kecupan singkat tepat pada bibirnya. "Ayo Ma, kita berangkat."
"Mama kismimol Papa dulu, Mama. Nanti Papa sedih. Lio juga," ucap Fillio dengan mimik muka sedih.
Dena membelalakkan kedua matanya. Ia tidak menyangka Fillio benar-benar merekam semua adegan kemesraannya dengan Dion. Bahkan raut pura-pura sedihnya Dion tatkala ia mengoda dengan tidak segera membalas ciumannya, ternyata kini tecetak persis di wajah Fillio. Tanpa menunggu lama, ia pun lekas memberikan kecupan singkat pada bibir Dion dan Fillio secara bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Fillio?
غير روائيDena tidak menyangka pertemuan dengan seorang balita yang memanggilnya Mama akan berbuntut panjang. Ia harus berperan sebagai Mama demi membantu kesembuhan balita tersebut. Fillio, balita berusia tiga tahun menemukan sosok Mama pada Dena. Fillio akh...