Dena merebahkan tubuhnya diatas ranjang super king size. Ia memejamkan mata dan membukanya perlahan. Pandangannya kini terpaku pada lampu gantung kristal ditengah ruangan. 'Itu kalau jatuh gimana ya. Pasti ngebersihinnya repot banget.' Dena menghela napasnya perlahan. Ia pun bangun dan duduk di tepi ranjang. Jemari kakinya merasakan lembutnya permadani yang terhampar di atas lantai berbahan kayu berwarna hitam. Pandangan matanya perlahan menyapu keseluruh ruangan yang beruansa gelap klasik. Dominasi wallpaper berwarna gelap dengan motif abstrak membuat kesan mewah semakin terasa. 'Gelap tapi bagus dan mewah.'
Perlahan Dena berjalan menuju walk in closet. Pandangan Dena seketika tertuju pada kabinet island yang terletak di tengah-tengah ruangan. Mata Dena membulat sempurna, tangan kanannya refleks menutup mulutnya yang terbuka lebar. Nampak beberapa jam dengan merek kenamaan berjajar rapi. Ia pun perlahan mendekati salah satu pintu yang berjajar di sampingnya. Dena membukanya, tetapi lekas-lekas ia menutupnya kembali. Dena pun segera beringsut, meraih kopernya dan segera keluar dari kamar tersebut.
"Lov," ucap Dena sembari mengetuk pintu.
Melihat Dena berada di depan pintu kamarnya dengan membawa koper, Lovina mengernyitkan keningnya. Belum sempat mengucapkan sepatah kata, Dena sudah membuka suara terlebih dahulu. "Aku ikut tidur di kamar kamu aja ya, soalnya kamarnya kegedean. Aku takut."
Seketika Lovina terbahak-bahak. "Ya ampun Cadena. Takut apa coba, tenang aja di rumah ini nggak ada hantunya. Lagian Papa sengaja siapin kamar itu buat calon istrinya tau."
Dena memerosotkan bahunya, "Lov, please...." Dena enggan menanggapi candaan yang dilontarkan Lovina. Tujuannya kini adalah bisa sekamar dengan Lovina. Setalah masuk magang ia akan mencari referensi indekos yang dekat dengan Chekia Fashion. Dena merasa sungkan dengan semua fasilitas yang diberikan oleh Om Richard dan Lovina. Bagaimana tidak, dimulai dari perjalananya menuju Jakarta yang ia kira menggunakan pesawat komersial, malahan menggunakan pesawat jet pribadi Om Richard. Bukannya tinggal di apartemen, tetapi ia justru diajak tinggal di rumah yang luasnya tidak kurang dari lapangan sepak bola di desanya. Makan malam dengan mengundang chef kenamaan, dan juga fasilitas kamar mewah yang barusan ia masuki.
Baru beberapa jam bersama Lovina dan Om Richard, ia telah dibikin jantungan berkali-kali. Ia tahu kalau Om Richard adalah orang yang berada. Namun, kenyataannya sangat jauh melebihi ekspektasinya.
"Kenapa? Ada apa? Kok ribut-ribut." Suara bariton dengan logat bahasa yang kaku muncul dari pintu di ujung lorong sebelah kanan.
"Ini Pa, Cadena nggak mau nempatin kamarnya, mau sekamar sama Lovina. Katanya kamarnya kegedean," jelas Lovina.
"Apa kamarnya kurang nyaman,Cadena? Maaf Om belum sempat mendekorasi ulang. Soalnya Om belum tahu seperti apa seleramu. Besok kamu bisa merubahnya sesuai dengan keinginanmu. Sekarang masuk dan istirahatlah, ini sudah terlalu malam. Kau pasti sudah lelah," ucap Richard sembari mengambil alih koper Dena.
"Eh, enggak kok Om. Kamarnya sangat nyaman. Hanya saja terlalu besar, jadi saya malah takut. Dena ikut sekamar sama Lovina saja." Pandangan mata Dena beralih pada Lovina. Kedua tangannya memeluk erat lengan kiri Lovina. "Lov, please. Aku nggak terbiasa tidur sendirian di kamar segede aula gitu, Lov," ucap Dena memelas sembari mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Ca, sejak kapan kesatria pemberani sepertimu mendadak jadi penakut gini sih. Biasanya kan aku yang merengek sama kamu minta ditemenin," ucap gadis bermata silver yang mengenakam piama berwarna merah jambu.
"Lov, please. Malam ini saja, semoga besok aku dapat kosan jadi...." Belum menyelesaikan ucapannya Richard sudah menginterupsinya.
"No! Kamu tidak boleh kemana-mana. Pokoknya selama di Jakarta kamu harus tinggal disini." Melihat perubahan raut muka Dena, Richard menghela napasnya. Ia pun melanjutkan ucapannya perlahan, "Selama ini, kamu sudah menemani dan menjadi sahabat yang baik untuk putri kesayangan Om. Jadi, izinkan Om menjadi tuan rumah yang baik dengan menjamumu secara layak selama di Jakarta. Anggap semua ini pengganti dari hadiah-hadiah Om yang kamu tolak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Fillio?
Non-FictionDena tidak menyangka pertemuan dengan seorang balita yang memanggilnya Mama akan berbuntut panjang. Ia harus berperan sebagai Mama demi membantu kesembuhan balita tersebut. Fillio, balita berusia tiga tahun menemukan sosok Mama pada Dena. Fillio akh...