Sudah tiga hari Dena tinggal di rumah Lovina. Selain menemani Lovina belanja dan menjadi kaum rebahan, tidak banyak hal lain yang ia lakukan. Om Richard dan Lovina benar-benar memperlakukan Dena seperti tamu agung. Bahkan untuk sekedar mengambil air minum pun di layani oleh asisten rumah tangga. Entah berapa banyak orang yang bekerja di rumah Lovina.
Dua hari berturut-turut Lovina berhasil membuat kedua kakinya lemas dengan menyusuri Mall dan beberapa butik ternama. Salah satunya di Chekia Fashion. Niatan awal hanya sekedar survei lokasi magang tetapi berakhir dengan ritual mengasah kartu debit Lovina pada mesin EDC (Electronic Data Capture). Tak tanggung-tanggung, hampir semua jenis produk keluaran terbaru dari Chekia Fashion ia beli dengan dalih ia tidak memiliki baju sepatu dan tas untuk magang. Beberapa kali Lovina memaksa untuk membelikannya juga tetapi Dena selalu berhasil menolak.
Hari ini Lovina harus mewakili ayahnya untuk datang ke acara pernikahan anak dari salah satu pimpinan cabang perusahaan ayahnya. Awalnya Lovina mau mengajaknya, tetapi Dena memilih untuk tetap di rumah karena ingin beristirahat karena besok adalah hari pertama magang di Chekia Fashion. Hari yang telah lama ia impikan.
Bagi Dena magang di Chekia Fashion merupakan momen pembuka jalan supaya bisa kerja di sana. Selain gaji yang tinggi, menjadi bagian dari Chekia Fashion adalah cita-citanya sejak SMA. Hal ini dikarenakan ia begitu kagum dengan Nona Eva -owner dari Chekia Fashion- yang begitu perhatian dan mendukung kesuksesan reseller produknya, terutama reseller kalangan anak muda seperti dirinya. Berkat rekomendasi dari Chekia Fashion juga lah Dena mendapatkan beasiswa mahasiswa berprestasi dari RC Foundation.
Bunyi notifikasi pesan masuk membuyarkan lamunanya. Dena meraih ponsel yang ia letakkan di atas nakas.
[Ibu alhamdulillah sudah sembuh Nduk. Kamu disitu jaga kesehatan juga ya.]
Dena membaca perlahan balasan pesan yang Uti Fillio kirimkan.
[Iya,Bu. Fillio rewel enggak, Bu]
Perhatian Dena masih tertuju pada layar ponselnya. Ia menunggu centang dua pesannya berubah menjadi warna biru. Namun seperti halnya kemarin, centang dua pada pesan yang ia kirim tak kunjung menjadi biru. Sejak kemarin Uti Fillio sangat lama merespon pesannya. Bahkan pesan yang ia kirim kemarin siang barusan dibalasnya. Untuk menepis kekhawatirannya, Dena menekan ikon telepon pada aplikasi berwarna hijaunya tersebut. Beberapa kali Dena melakukan panggilan akan tetapi tidak satupun mendapatkan jawaban.
Dena menggulir aplikasi pesan berwarna hijau tersebut untuk mencari kontak Dian. Dena lekas mendial nomor tersebut. Akan tetapi tidak juga mendapatkan jawaban. Dena menjadi semakin khawatir. Ia segera memencet tombol video call pada kontak Dian. Pada nada sambung yang ketiga seketika layar ponselnya menampilkan wajah Dion. Dena pun terkesiap.
"Assalamu'alaikum, ada apa Dena?" Tanya Dion dengan back ground suara yang begitu familiar di telinga Dena. Tangisan Fillio.
Dena yang awalnya kikuk, langsung penasaran dengan keadaan Fillio."Wa'alaikum salam. Fillio kenapa, Pak?"
Bukannya mendapat jawaban, Dion justru mengajak berbicara Fillio yang tengah menangis. Terdengar Dion manawarkan Fillio untuk berbicara dengan Dena, sedangkan layarnya masih penuh dengan wajah Dion. Gambar di layar sedikit bergoyang. Sepertinya Dion beranjak dari duduknya. Beberapa saat kemudian nampaklah wajah Fillio. Seketika hati Dena hancur berkeping, tanpa ia sadari air matanya lolos dari pelupuk matanya.
"Fillio, kenapa sayang?" tanya Dena dengan suara yang bergetar. Ia sungguh tidak tega melihat selang oksigen bertengger pada hidung mungilnya.
"Mama, Lio kangen. Lio ikut, Mama. Puang, Mama," ucap Fillio disela isak tangisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Fillio?
Non-FictionDena tidak menyangka pertemuan dengan seorang balita yang memanggilnya Mama akan berbuntut panjang. Ia harus berperan sebagai Mama demi membantu kesembuhan balita tersebut. Fillio, balita berusia tiga tahun menemukan sosok Mama pada Dena. Fillio akh...