16. Mengenalmu

7.7K 757 13
                                    

"Bolehkah aku mengenalmu?" tanya Dion memecah keheningan.

Dena kembali menatap Dion dan menganggukkan kepalanya. Eh iya, kita kan belum kenalan secara resmi.

"Seperti yang kamu tahu, aku seorang duda. Aku bekerja di bagian keamanan. Bison Cafe itu bukan murni usahaku, itu hadiah dari almarhum bosku. Mengenai keluargaku, kau sudah mengenal mereka semua." Dion menjeda ucapannya. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat saat mendapati Dena dengan raut muka bingung. "Bagaimana, apa kau keberatan menerima saya?"

Dena mengerjapkan matanya sebanyak tiga kali, mencoba mencerna kembali setiap ucapan Dion. 'Apa model kenalan Pak Dion seperti ini. Kok aneh ya. Kenalan saja sedetail ini dan apa kata dia tadi, menerima saya? Perkenalan macam apa ini.' Melihat sorot mata yang menuntut jawaban, Dena menggelengkan kepalanya. "Saya tidak masalah dengan latar belakang Bapak. Justru saya yang ragu. Apakah Bapak akan menerima saya sebagai teman setelah mengetahui latar belakang saya. Bapak tahu sendiri 'kan bagaimana Mamanya Hendra dan Naila bermasalah dengan hal itu," ucap Dena lirih.

"Saya bukan tipe yang menilai orang lain berdasarkan apa kata orang. Ketika saya merasa nyaman, saya tidak peduli tentang latar belakang ataupun masa lalu mereka. Toh saya juga bukan orang yang sempurna," ujar Dion dengan ekspresi wajah yang sama. Datar.

Dena menganggukkan kepalanya perlahan. "Kapan kamu antarkan saya main kerumahmu?" Pertanyaan Dion membuat Dena menatap laki-laki dihadapannya dengan bingung, lalu ia menunduk dan menggelengkan kepalanya perlahan.

"Hubungan kami tidak baik Pak, Sa...." Belum menyelesaikan ucapannya, Dion sudah menyela. "Saya minta diantar main ke sana bukan untuk memintamu memperbaiki hubunganmu dengan mereka. Namun, karena saya serius ingin mengenalmu."

"Ta- tapi Pak," Dena menjawab dengan tergagap. Ia mencoba untuk melanjutkan perkataannya tetapi entah kenapa sangat sulit bagi Dena memilih kata sanggahan ataupun penjelasan yang tepat. Bagi Dena sangat susah membahas masalah sensitif ini. Semenjak diusir secara halus, jangankan mengajak temannya datang ke rumah, Dena bahkan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di rumah ayahnya.

Melihat Dena yang terdiam, Dion bersandar pada dinding gazebo dan menyelonjorkan kedua kakinya. Ia bahkan merasakan ujung kelingking kaki sebelah kanannya menyentuh lutut Dena yang tengah duduk bersila dihadapannya.

"Kenyataannya lebih mudah berurusan dengan orang lain daripada sama orang yang ada labelnya saudara atau keluarga." Dion menghembuskan napasnya. Meski sempat ragu, entah kenapa nalurinya berkata bahwa dia pun harus berbagi beban dengan Dena yang memiliki nasib yang hampir sama denganya. Hal yang telah lama ia simpan rapat-rapat untuk dirinya sendiri.

"Hubunganku dengan almarhum bapakku juga tidak baik. Semenjak aku memergokinya selingkuh, aku enggan untuk berbicara dengannya. Bahkan untuk sekedar bertemu pun hatiku tidak sanggup. Padahal saat itu aku masih SD." Dion diam sejenak, lalu ia berkata pelan. "Aku baru menemuinya lagi ketika ia sudah terbujur kaku. Atas perintah ibu tentunya. Itu juga pertama dan terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di rumah itu setelah kejadian pengusiran."

"Banyak ibu peri berkeliaran memberikan nasihat yang justru mengabaikan keadaan dan perasaan. Tak sedikit pula yang menghakimi tanpa tahu masalah yang sesungguhnya. Apa kau juga mengalaminya?" Melihat Dena mengangguk, Dion melanjutkan ucapannya, "Dia sudah menyakiti, menghancurkan bahkan mengusir ibu dari rumah. Namun, drama kolosal yang mereka mainkan telah berhasil memanipulasi siapa korban dan pelakunya." Dion tertawa getir.

Melihat tatapan mata Dion telah berubah sendu, Dena refleks menggeser posisi duduknya. Ia meraih jemari tangan kanan Dion dan mengenggamnya untuk menguatkan. Dena baru tahu, tenyata nasib mereka hampir sama.

Mama Fillio?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang