"Langsung saja ke intinya." Sudut bibir sebelah kiri Dion sedikit terangkat. "Aku sengaja kesini, yang pertama untuk berterima kasih. Berkat dirimu, aku berhasil mendapatkan gadis yang kucinta. Berkat dirimu pula, cincin pernikahan yang aku siapkan untuk Dena ukurannya pas." Dion menjeda ucapannya, tangan kanannya mengelus cincin yang tersemat pada jari manis istri tercintanya. "Nah, yang kedua aku hanya ingin memastikan bahwa janjiku kepadamu perlahan mulai aku penuhi." Dena refleks menoleh. Ia melihat suaminya dengan penuh tanya.
Dion mengalihkan pandangan, mengeratkan rengkuhan pada bahu istrinya kemudian melayangkan sebuah kecupan pada kening istrinya. "Mas dahulu pernah berjanji akan membuat mantanmu ini sangat menyesal karena telah mengkhianati dan melepas gadis sebaik dirimu."
Dion kembali mengarahkan pandangannya pada Hendra. "Melihat nomermu memenuhi layar ponsel istriku hampir sepanjang waktu selama satu bulan terakhir, merupakan bukti nyata bahwa janjiku kepadamu perlahan mulai aku penuhi. Makanya, aku sengaja mengajak istriku turut serta agar suasana hatimu semakin memburuk." Dion terkekeh melihat wajah pria dihadapannya memerah lengkap dengan ekspresi yang siap menerkam. "Memang aku sedang pamer sekaligus mengejek luka hatimu supaya rasa frustrasi dan penyesalan dalam dirimu semakin menjadi. Sudah, aku menemuimu hanya ingin menyampaikan itu saja."
Jemari tangan kanan Dion beralih ke pipi Dena, "Sayang, apa ada hal yang ingin kau sampaikan kepadanya?"
Dena menggeleng. "Sudah tidak ada yang perlu dibicarakan dengannya lagi, Mas. Bagi Dena, semua sudah clear waktu itu." Dena meraih jemari Dion yang masih mengelus pipinya.
"Oh iya, ada ding." Dena menoleh pada Hendra. "Tolong jangan menghubungi nomer ponselku lagi. Itu sangat mengganggu. Kalau kau merasa ada hal yang belum terselesaikan diantara kita katakan sekarang," ucap Dena dengan tegas.
Hendra membisu. Amarahnya membuncah. Namun mengingat kejadian lalu dimana Dion dengan mudah menahan serangannya bahkan berdampak pada cidera lengan yang membuatnya harus ke tukang urut, maka kini ia lebih memilih untuk menahan amarahnya. Ia sadar diri, pria kekar dihadapannya bukanlah tandingan untuknya.
Hendra terus membeku, ia hanya mampu mengamati lekat-lekat manik mata tambatan hatinya. Nahas, pendar cahaya mata itu begitu hambar setiap bertatapan dengan netranya. Sebuah pertanda bahwa pancaran rasa untuknya benar-benar telah padam.
"Sepertinya urusannya denganku sudah clear juga, Mas. Ayo kita berangkat sekarang. Itu sepertinya Fillio juga sudah selesai jajannya." Dena menoleh keluar counter ponsel, nampak Balraj sedang menyebrangi jalan dengan Fillio berada dalam gendongannya. "Eh Mas, itu cilok langgananku lewat," seru Dena tiba-tiba dengan penuh antusias saat matanya menangkap gerobak dorong bergambar upin ipin melintas di depan counter ponselnya Hendra.
"Sayangku mau?" Dena menoleh kearah sumber suara. Ia mengangguk cepat sebanyak tiga kali diiringi senyum yang merekah dan mata berbinar-binar.
"Oke kalau begitu kami pamit dan ingat permintaan istriku, jangan pernah menghubungi ponselnya lagi." Dion dan Dena beranjak meninggalkan Hendra yang masih terpaku.
"Apa kamu bahagia? Apa dia memperlakukan dan menjagamu dengan baik?" Sebuah suara menghentikan langkah Dion dan Dena.
Dena membalikkan tubuhnya. Ia menatap Hendra dengan tersenyum. "Dahulu, hidup tenteram dan bahagia merupakan mimpiku yang tak pernah terwujud. Kini mimpi itu telah menjadi nyata bahkan sangat melebihi ekspektasiku. Namun, jika ini hanya mimpi, maka aku bersyukur telah mengalami mimpi ini karena Mas Dion adalah mimpi yang sempurna. Kasih sayang, perhatian dan penjagaannya begitu sempurna." Dena melayangkan sebuah kecupan pada pipi suaminya. "Terima kasih, suamiku sayang."
Dion membalas dengan kecupan singkat pada bibir Dena. Ia kemudian melayangkan pandangannya pada Hendra. "Minta doanya saja, semoga benih cinta kami lekas tumbuh supaya kebahagiaan Dena semakin lengkap." Tangan kanannya mengelus perut rata Dena. "Ayo sayang, nanti tukang ciloknya keburu jauh. Hendra, kami pamit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Fillio?
Non-FictionDena tidak menyangka pertemuan dengan seorang balita yang memanggilnya Mama akan berbuntut panjang. Ia harus berperan sebagai Mama demi membantu kesembuhan balita tersebut. Fillio, balita berusia tiga tahun menemukan sosok Mama pada Dena. Fillio akh...