Dena kini duduk disalah satu meja gerai makanan. Fillio tengah tertidur dalam gendongannya. Tepat di depannya Pakde Harno tengah menyeruput secangkir kopi. Di sebelah kanannya nampak Uti sesekali mengelus lengan Dena. Sedangkan Dian tengah lahap menyantap makanannya di meja sebrang sembari menggendong Valdi yang tertidur pulas.
Awalnya Pakde Harno hanya ingin berbicara berdua dengan Dena. Namun, karena khawatir tidak mampu mengendalikan diri, Dena meminta Uti untuk menemaninya. Meskipun sempat menolak, pada akhirnya Uti luluh melihat Dena yang memohon dengan sorot mata yang penuh dengan pengharapan dan juga kesedihan.
"Maaf. Maafin Budemu, ya," ucap Pakde Harno memecah keheningan.
Tidak mendapat respon apapun, Pakde Harno melanjutkan ucapannya. "Dena, apa nomormu sudah ganti? Berulang kali Pakde menghubungi, nomormu selalu tidak aktif."
Dena yang sedari tadi berusaha menata hati hanya mampu menjawab dengan gelengan kepala. Tangan kanannya kini mencoba mengambil ponsel di dalam sling bagnya.
Pakde Harno menghembuskan napasnya, "Kenapa kamu nggak pulang, Nduk? Aku dan bapakmu mencarimu kemana-mana. Beberapa kali ke kampusmu tapi nggak ketemu."
Melihat Dena yang masih bergeming, Pakde Harno melanjutkan ucapannya, "Bapakmu sangat mengkhawatirkanmu, Nduk. Apalagi kemarin waktu bapakmu mau mentransfer, katanya pegawai bank bilang kalau nomer rekeningmu sudah tidak aktif. Padahal seingat bapakmu dalam sebulan ini ibumu sudah tiga kali meminta uang untuk mentransfer uang untuk kebutuhanmu."
Dena menghembuskan napasnya perlahan. Keputusannya sudah bulat, ini saat yang tepat untuk memberitahukan kebenaran kepada Pakde Harno. Bagaimanapun reaksi Pakdenya nanti, dia akan pasrah.
"Pakde, Dena dari dulu nggak pernah ganti nomer ponsel maupun nomer rekening. Bukannya Dena yang tidak ingin pulang, Pakde. Namun, orang rumahlah yang melarang Dena. Setiap kali pulang ke rumah Mbak Rum, Dena selalu mendapat pesan seperti ini." Dena menyerahkan ponselnya kepada Pakde Harno.
[Rasah muleh, rasah bali nang deso iki meneh nek mung arep gawe memolo. Ojo ngasi bapakmu weruh kowe. Kowe ki mung nyusahke bapakmu! Mung nggowo penyakit nggo keluarga besare bapakmu! Asal kowe ngerti semenjak kowe lungo, bapakmu wis ra tau loro-loronen, uripe wis tentrem. Wis bahagia!]
[Nggak usah pulang, nggak usah kembali ke desa ini lagi kalau hanya mau bikin penyakit. Jangan sampai ayahmu melihatmu. Kamu itu hanya menyusahkan ayahmu! Hanya membawa penyakit untuk keluarga besar ayahmu! Asal kamu tahu, sejak kamu pergi, ayahmu sudah nggak pernah sakit-sakitan, hidupnya sudah tentram. Sudah bahagia!]
"Astagfirullah." Pakde Harno terperanjat membaca pesan yang disampaikan oleh ibu tirinya.
"Sek, sek, Bentar. Kalau ibumu minggu lalu bisa mengirimimu pesan, lha kok aku sama Bapakmu selama ini nggak bisa menghubungimu." Pakde nampak mengutak atik hp Dena.
"Astagfirullah, astagfirullah. Pantesan nggak bisa lha wong nomernya kurang satu angka. Jangan-jangan,,,," Belum menyelesaikan ucapannya Dena menimpalinya.
"Pakde, boleh Dena berbicara sesuatu?" tanya Dena dengan suara bergetar, yang dibalas anggukan oleh Pakde Harno.
"Pakde nggak usah khawatir. Dena disini baik-baik saja." Dena diam sejenak, meraih ponsel yang diberikan Pakdenya kemudian melanjutkan ucapannya. "Pakde, Dena minta tolong sampaikan sama bapak, kalau tidak perlu mengkhawatirkan Dena. Dena di sini nggak macem-macem dan bisa jaga diri. Dena kuliah dengan baik, nilai Dena juga sangat baik."
Dena menarik napas untuk menenangkan diri. "Dena disini nggak kekurangan uang, karena Dena kuliah sambil bekerja paruh waktu di toko kain dan juga jualan online di internet. Alhamdulillah sejak ibu dan simbah meninggal Dena diberi kemudahan mencari uang halal untuk menghidupi Dena sendiri. Jadi, Dena nggak harus merecoki bapak dan keluarga barunya."
Dena menunjukkan beberapa foto dan file di ponselnya yang ia simpan dalam folder khusus. "Monggo, silakan pakde lihat sendiri. Disitu ada nilai Dena sampai semester kemarin. Ada daftar nama penerima beasiswa mahasiswa berprestasi dari RC Foundation. Ada foto toko online dan juga barang dagangan Dena. Jadi, Pakde untuk biaya kuliah maupun biaya hidup disini, Dena sama sekali tidak memakai uang bapak. Dena memakai uang Dena sendiri dari hasil tabungan jualan soto sama Mbak Sum dan juga dari kerjaan Dena disini."
Dena menarik napas dalam-dalam, " Jujur ya Pakde, sepeserpun Dena belum pernah menerima kiriman uang dari rumah. Kalau Pakde tidak percaya, Dena bisa menunjukkan print out buku rekening Dena."
Meskipun harus berusaha tegar dan menahan rasa nyeri di dadanya, Dena merasa lega. Akhirnya ia memiliki keberanian untuk menunjukan bahwa apa yang dituduhkan oleh ibu tiri dan budenya selama ini adalah tidak benar.
Disisi lain, Pakde Harno terperanjat. Kedua matanya nampak berlinang air mata mendapati kenyataan yang selama ini menimpa keponakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Fillio?
Non-FictionDena tidak menyangka pertemuan dengan seorang balita yang memanggilnya Mama akan berbuntut panjang. Ia harus berperan sebagai Mama demi membantu kesembuhan balita tersebut. Fillio, balita berusia tiga tahun menemukan sosok Mama pada Dena. Fillio akh...