17. Es Duren

7.2K 753 6
                                    

"Apa kamu istriku?" Kedua mata Dena membulat dan nyaris keluar. Ia tidak menyangka setelah berhasil menyeret Dion dengan susah payah dari dekat gerobak mie ayam menuju mobil, justru perkataan itulah yang lolos dari mulut duda tampan yang kini duduk disebelahnya.

"Selain bos dan ibu, hanya istriku yang boleh membayari makan untukku." Lanjut Dion setelah melajukan mobilnya dengan perlahan keluar dari sebuah gang kecil yang di sebelah kiri terapat banner bertuliskan mie ayam sidorejo.

"Bukan begitu Pak. Kan sudah saya jelaskan kalau ini traktiran sebagai rasa terima kasih karena Bapak sudah membantu menghadapi Hendra dan Naila," ucap Dena sembari mengambil botol air minum di dalam tasnya.

Dion menghela napasnya, ia masih kesal setelah mendapati Dena telah membayar terlebih dahulu pesanan mereka. "Mana ada traktiran patah hati. Kamu itu aku yang mengajak. Jadi, sepenuhnya menjadi tanggung jawabku."

"Paak...." Dena diam sejenak, ia terus memikirkan serentetan kalimat untuk mematahkan ucapan Dion. Ternyata bukan perkara yang mudah untuk mendebat seorang Dion. "Bapak sudah mendengarkan curhatan, bahkan menenangkan saya. Karena itulah perasaan saya jauh lebih baik. Jadi sebagai teman, tidak salah 'kan saya mentraktir Bapak."

"Itu memang sudah seharusnyaku lakukan untukmu, Dena. Jadi bukan suatu alasan kau membayar makanan kita tadi. Ini ambil. Aku cowok dan kamu tanggung jawabku." Dion menyodorkan uang seratus ribu yang ia ambil dari clutch berwarna hitam yang ia taruh pada dashboard mobilnya.

"Sudah sah ya Pak, saya terima." Dena menerima uang tersebut, tetapi sejurus kemudia ia memasukkan uang tersebut kedalam clutch Dion dan segera menarik ritsletingnya. Melihat tangan Dion yang terulur ke arah clutch, Dena dengan sigap mengambil clutch tersebut kemudian mendekapnya.

"Eits, tidak bisa Pak. Sebelum kita sampai di rumah Ibu, clutch Bapak, saya sita. Pokoknya anggap saja uang Bapak sedang tidak laku." Dena tersenyum penuh kemenangan. Ia merasa menang telak. Dua kali di depan gerobak mie ayam, ditambah yang barusan. Jadi, totalnya sudah tiga kali Dena berhasil mengembalikan secara paksa uang Dion.

Dion menghela napasnya. Namun seketika terbitlah senyum menyeringai di wajahnya. "Kayanya memang kamu minta disumpahi jadi istiku."

"Astaga Pak Dion!"Dena kembali memelototkan kedua matanya dan menatap tak percaya ke arah Dion. Sedangkan Dion hanya terkekeh mendengar seruan Dena. Ia begitu terhibur melihat reaksi Dena yang terkaget mendengar ucapannya. "Wah, benar-benar ya, bapak meledek saya. Mentang-mentang sudah mau nikah lagi terus seenaknya mengejek saya yang baru saja patah hati." Lanjut Dena.

Dion mengulurkan tangan kirinya dengan senyum yang masih mengembang. "Ma, ponsel Ma. Casenya yang warna hitam ya."

"Pak Dion! Iiiiihh. Bisa-bisa saya dibantai habis-habisan sama Mamanya Fillio lho Pak." Wajah Dena seketika memerah, ia tidak habis pikir bagaimana seorang Pak Dion yang terkenal cuek dan dingin bisa seusil ini.

Dalam diri Dena, ia terus berusaha untuk menyangkal buaian angan atas perkataan Dion. Meskipun tidak di pungkiri ia pun juga wanita normal dan cenderung mudah terpesona saat matanya disajikan pemandangan indah berupa ketampanan makhluk ciptaan Tuhan. Apalagi Dion, Dena berani memastikan bahwa seluruh pegawai Shinta Mart pasti tidak ada yang menolak jika disumpahi menjadi istrinya Dion. Namun Dena cukup tahu Diri. Dion mengucapkan itu semata-mata hanya bercanda untuk menghibur dirinya yang tengah patah hati.

Ah, benar-benar teman yang menyenangkan. Aku tarik ucapanku atas penyesalan menerima ajakan perkenalannya Pak Dion. Meskipun begitu aku tetap berada di tim Ibu. Semoga Pak Dion segera dibukakan mata hatinya dan mendapat ganti jodoh yang lebih menyayangi Ibu.

Dion terus terkekeh. Ia tidak menerima clutch yang kini telah disodorkan oleh Dena. "Papa lagi nyetir, Ma. Jadi gak bisa ambil. Tolong ambilin, Ma," ucap Dion dengan kedua sudut bibir masih terangkat sempurna.

Bibir Dena mengerucut, kedua pipinya menggelembung. Ia menaruh botol minumnya kepangkuan. Dena mengangsurkan clutch ke tangan kirinya. Ia segera membuka risleting dan mencari ponsel yang dimaksud. Di dalam clutch ternyata ada tiga ponsel. warna perak, abu-abu grafit dan yang satu bercase hitam. Dena segera mengambil yang Dion maksud. Ia segera menyerahkan ponsel tersebut kepada Dion. Dena pun menutup ritsleting dan menaruh clutch pada dashboard.

Dena kembali meraih botol minum dan membenahi posisi duduknya. Ia mengerutkan dahinya saat menyadari Dion tidak mengarahkan mobilnya ke arah Jogja melainkan ke Solo. Saat ingin bertanya, ia justru dibuyarkan dengan lirik lagu Sheila on 7 yang sedang diputar oleh Dion.

Seberapa hebat kau untuk kubanggakan
Cukup tangguhkah dirimu untuk selalu ku andalkan
Mampukah kau bertahan dengan hidup ku yang malang
Sanggupkah kau menyakinkan di saat aku bimbang
Mungkin kini kau t'lah menghilang tanpa jejak
Mengubur semua indah kenangan
Tapi aku slalu menunggumu di sini
Bila saja kau berubah pikiran
Celakanya
Hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu
Hanya kaulah yang benar-benar memahamiku
Kau pergi dan hilang ke mana pun kau suka

Dena menoleh dan mendapati Dion yang tengah menyetir mobil sembari bersenandung dengan wajah tanpa dosanya. Sesekali Dena mendapati Dion meliriknya dengan senyuman menyeringai.

"Iiiih, Pak Dion nyebelin Deh. Terus terusin saja Pak, ngeledekin orang yang lagi patah hati." Dena memukul pelan lengan kekar Dion.

Melihat Dion tertawa terbahak-bahak Dena pun mencebik kesal. Sejenak Dena kembali dibuat heran ketika Dion membelokkan mobilnya kearah RSI Klaten. Namun, Ia mengabaikannya mungkin Dion masih harus menyelesaikan urusannya. Dena memilih untuk membuka tutup botol air minum dan menenggak isinya.

"Nah, Ada," gumam Dion yang terdengar jelas oleh Dena. "Spesial buat Mama yang lagi patah hati, Papa traktir es duren." Dena seketika tersedak air minumnya saat mendengar kata es duren.

🌸🌸🌸

"Ini mobil siapa pak? Kalo yang tadi?" tanya Dena saat ia memasuki mobil yang berbeda.

"Ini mobil Chandra. Barusan itu orangnya. Dari Boyolali juga lho, kamu kenal?" Melihat Dena menggelengkan kepala, Dion melanjutkan ucapannya. "Kalau yang itu mobilku. Memangnya kamu nggak pernah masuk ke garasi belakang rumah?" Dion menunjuk mobil Jenis jip berwarna hitam yang tengah terparkir di area Bison Cafe.

Dena kembali menggelengkan kepalanya. Namun sejurus kemudian ia menoleh ke arah Dion dan menaikkan sebelah alisnya. Dena nampak berpikir sejenak. "Ah, pantas saja saya sering melihat mobil itu terparkir disana setiap saya nungguin ownernya Bison. Ngomong-ngomong, makasih lho Pak, sudah membuat saya menunggu berbulan-bulan untuk bisa bertemu dengan ownernya Bison," sindir Dena.

Dion tergelak melihat ekspresi kesalnya Dena. Selama ini ia memang sengaja mengelabuhi Dena karena masih ada banyak hal yang harus Dion pastikan mengenai Dena.

"Eemm.... Terima kasih banyak ya Pak, untuk hari ini." ucap Dena yang dijawab dengan anggukan kepala sepaket dengan senyuman.

Manik mata Dena menerawang lurus kedepan. "Meskipun ini hari yang menyedihkan buat saya, tetapi disisi lain saya beruntung bisa berteman dengan Bapak. Padahal kita baru saja berkenalan tetapi bisa seakrab ini dan Bapak baik banget sama saya. Bapak sudah menjadi teman sekaligus pelipur lara. Bahkan sampai berinisiatif bertukar mobil demi mengelabuhi Hendra yang masih berada di depan Shinta Mart."

Dena memalingkan mukanya ke arah Dion, ia kembali menelusuri setiap inci wajah Dion dari arah samping. "Sekali lagi saya sangat berterima kasih dan juga untuk es durennya. Seger maksimal!" seru Dena dengan binar mata bahagia dan senyum yang mengembang sempurna.

Berkat Pak Dion, kepiluan hatiku tidak merajalela.



Mama Fillio?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang