Dena duduk di kursi sebuah restoran salah satu pusat perbelanjaan di kota Jogja. Ia sedang berusaha menenangkan Fillio yang mendadak rewel. Berulang kali Fillio mengajak Dena untuk beranjak dari tempat duduk tetapi Uti Fillio tidak mengizinkan.
"Puang, Mama. Ayo puang. Lio ndak mau. Ini Mama Lio." Dena menghembuskan napas perlahan, ia tidak tega mendengar rengekan Fillio tetapi disisi lain ia juga tidak tega meninggalkan Uti yang kini mengenggam erat jemari tangan kanannya.
Dena mengambil selimut kecil dalam tote bag menggunakan tangan kirinya. "Sayang, Mama tahu Fillio tidak nyaman, tapi Mama harus nemenin Uti sebentar. Sebentar saja. Mama janji setelah itu kita pulang. Oke. Kalau Fillio takut atau nggak mau lihat, Fillio ditutup pake selimut ya, trus meluk Mama." Fillio menarik-narik selimut yang dibawa Dena.
"Huh, Mama dia bilang. Baby sitter nggak tahu diri...." Dena tidak menggubris sebuah gumaman yang ia yakin keluar dari bibir maroon di seberang meja.
Uti melepaskan gengamannya, membantu menyelimuti Fillio yang kini sudah bersembunyi dalam dekapan Dena. Sekilas Dena melihat tatapan sinis dari perempuan yang mengenakan lensa kontak berwarna abu-abu yang duduk tepat di hadapan Uti Fillio.
Dena kini merasakan bagaimana canggungnya Uti Fillio ketika menemaninya berbicara dengan Pakde Harno. Hawa dingin dari jemari Uti Fillio yang kembali mengenggam jemarinya membuat Dena merasa bahwa saat ini perasaan Uti Fillio sedang tidak baik.
"Kebetulan kita bertemu di sini. Jadi, saya tidak perlu repot-repot datang ke rumah Ibu." Suara perempuan itu membuat Dena refleks menatapnya. Dena mengerutkan keningnya, menyipitkan matanya memastikan bahwa yang didengar dan dilihatnya adalah benar.
Awalnya Dena berusaha untuk mengabaikan perempuan itu. Namun, setelah mengetahui siapa dia, jiwa kepo yang ditularkan oleh sahabatnya, Lovina semakin menjadi. Dena memindai setiap detail penampilan perempuan itu. Rambut berwarna brown dengan gaya long curly. Mini dress berwarna hitam keluaran terbaru Chekia Fashion, ponsel apel kroak dengan tiga bulatan kamera, jam merek kenamaan dengan harga setara sepetak sawah dan tas yang harganya bahkan lebih mahal dari perumahan bersubsidi dipinggiran kota Boyolali.
Dena menghela napasnya pelan. Buku tabunganku menangis melihat outfit tante-tante ini. Dena memang tidak memiliki semua barang itu tetapi sebagai reseller produknya Chekia Fashion, ia tahu benar berapa harga pakaian yang tante itu kenakan. Sedangkan barang yang lainnya ia cukup tahu karena sahabatnya, Lovina memilikinya.
"Saya langsung saja. Begini, saya berbicara dengan Ibu bukan untuk meminta izin ataupun doa restu, tetapi hanya sekedar memberitahu kalau saya dan Mas Dion telah sepakat untuk kembali bersama." Dena merasakan cengkeraman tangan Uti semakin kuat.
"Kalau dilihat dari ekspersi Ibu, pasti Mas Dion belum memberitahukan kabar ini. Saya yakin Ibu pasti tahu kenapa Mas Dion belum memberi tahu ibu. Oh iya, ibu pasti juga tahu 'kan alasan yang sebenarnya kenapa mas Dion tetap melajang hingga saat ini. Padahal banyak lho yang mendekatinya." Senyum sinis tersungging dari bibir maroon perempuan tersebut sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku tahu Ibu itu orang yang baik dan begitu sayang pada anaknya. Nggak baik lho, Bu bikin anak kesayangan terus menderita karena harus memilih ibunya dan merelakan kebahagiaannya untuk bisa hidup bersama pujaan hatinya. Jadi, saya harap Ibu sadar dan tahu diri. Ibu tahu 'kan apa yang harus dilakukan? Dan satu lagi, jangan lupa siapkan hati Ibu untuk segera berpisah dengan putra dan cucu kesayanganmu."
Dena seakan tidak mempercayai telinganya saat mendengar apa yang perempuan itu ucapkan. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa perempuan dengan kecantikan dan penampilan paripurna mampu mengucapkan kalimat yang begitu durjana. Kini netranya bertemu dengan tatapan tajam manik mata silver itu, "Kamu pasti tidak tahu siapa saya. Saya Wina, Mamanya Fillio. Calon majikan barumu. Oh iya, saya tidak masalah Fillio memanggilmu Mama dan begitu lengket denganmu. Itu justru menguntungkan karena nantinya aku tidak perlu repot mengurusnya ataupun bingung mencari cara agar Fillio bisa jauh dengan neneknya. Jadi, jangan pernah sedikitpun berfikir untuk menggantikan posisi Mama dalam hidup Fillio. Apalagi sampai berhayal bisa mendapatkan hati Mas Dion. Asal kamu tahu sudah banyak wanita yang menggunakan trikmu itu tetapi sayang, di dalam hati Mas Dion hanya ada aku seorang. Bukan begitu, Mama mertua?"
Uti Fillio tetap bergeming. Wajahnya pucat pasi.
Wina memasukkan ponsel kedalam tasnya. Beranjak dari tempat duduknya, menghampiri Fillio dan membuka selimut yang menutupi Fillio.
"Hai sayang. Kamu pasti kangen kan sama Mama. Tenang, Sebentar lagi Mama, Papa dan Fillio akan hidup bahagia bersama." Wina mengelus kepala Fillio. "Ikut Mama beli mainan, yuk."
"Ndak mau! Ini Mamaku." Fillio semakin membenamkan wajahnya dan memeluk erat Dena.
"Bukan sayang, dia bukan Mama. Nenekmu sudah membohongimu.Tante ini hanya pengasuhmu saja. Akulah Mamamu. Ayo sayang, kita beli mainan yang banyak sambil video call Papa," bujuk Wina dengan suara lemah lembut.
"Itu Tante bukan Mama! Ini Mamaku. Mamaa Lio, ini Mama Lio." Tangis Fillio pecah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Fillio?
Non-FictionDena tidak menyangka pertemuan dengan seorang balita yang memanggilnya Mama akan berbuntut panjang. Ia harus berperan sebagai Mama demi membantu kesembuhan balita tersebut. Fillio, balita berusia tiga tahun menemukan sosok Mama pada Dena. Fillio akh...