"Mama Fillio! Mau ke rumah Ibu? Salam buat duren montong yaa, barusan aku lihat dia baru dateng. Wuiiihh tambah ganteeengg," ucap Rini, admin Shinta Mart.
"Hah, duren montong ganteng?" Dena hendak membuka pintu yang menghubungkan Shinta Mart dengan halaman rumah Ibu Shinta, seketika menoleh ke arah sumber suara yang berasal dari dalam gudang sebelah kirinya.
"Beruntung banget sih kamu, Dena. Bisa sering ketemu sama duren musang king. Aku juga titip salam ya," sahut Ayu, staf bagian gudang.
"Duren apa sih Mbak? Emang Ibu habis kulakan duren?" Dena megerutkan keningnya, sedetik kemudian ia memukulkan tangan ke keningnya, "Ya Tuhan, duren duda keren! Maksudnya Papa Fillio?"
"Ya elah, siapa lagi kalo bukan dia. Dia itu duren best quality yang pernah aku lihat. Meskipun tampak dingin tapi kau selalu bikin hati Dek Rini meleleh, Bang." Rini mengedip-ngedipkan matanya sambil tersenyum penuh damba.
"Justru sikap dinginnya itu yang bikin jantungku berloncatan kesana kemari. Tatapan matanya itu lho Rin, nggak kuku," sahut Ayu.
Dena tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kedua staf Shinta Mart, "Dena ke rumah ibu dulu ya, Mbak. Siapa tahu ketemu es duren. Hmmm.. segeer."
Dena beringsut meninggalkan Rini dan Ayu yang masih asyik membicarakan Mas Duren best quality. Dena semakin penasaran dengan Papa Fillio. Ia merasa kurang beruntung karena selama dua bulan menjadi mama dadakan, Dena belum sekalipun bertemu dengan Mas Duda.
Indekos Dena yang berada di depan Sinta Mart, membuatnya sering mendengar desas-desus mengenai Mas Duda. Baik dari pegawai Shinta Mart ataupun teman satu indekos. Bahkan, Setiap Fillio diajak Dena main ataupun menginap di indekos, pasti ibu kos ikutan nimbrung untuk menggosipkan Mas Duda yang konon katanya tampan maksimal.
"Itu mamamu sudah dateng. Dena, anakmu rewel terus nih dari tadi." Sebuah suara dari arah ruang bermain membuyarkan angannya tentang gosip Mas Duda.
Nampak Mbok Jum dan Dian -putri kedua Ibu Shinta- tengah berusaha menenangkan Fillio yang tengah tantrum. Dena bergegas menghampiri Fillio.
"Cup, cup, cup, gantengnya Mama kenapa menangis?" Dena mengelus kepala Fillio .
Dian terkesiap melihat Fillio yang langsung tenang begitu Dena memangku kemudian mendekapnya, "Benar-benar anaknya Mama Dena. Padahal dari tadi semua sudah turun tangan nenangin, tapi nggak ada yang berhasil."
"Sudah lama ya Mbak nangisnya?" Pandangan Dena beralih pada ibu beranak dua yang kini mengenakan setelan gamis syar'i berwarna nude peach.
"Sudah lumayan lama. Awalnya rebutan mainan sama Vella, dua-duanya nangis tapi nggak lama udah diem. Lha kok lihat Vella sama Valdi rebutan minta aku gendong, Fillio malah nangis nyariin mama. Udah deh langsung tantrum," jelas Dian.
"Mbok ya tadi telepon Dena, Mbak. Kasihan Fillio nangisnya sampe kaya gitu." Dena menatap sendu Fillio yang kini sudah tenang namun masih menenggelamkan wajah di pelukannya.
"Ya kan nggak enak gangguin orang lagi pacaran," ucap Dian sambil tersenyum.
Dena menghembuskan napasnya perlahan, "Nggak papa, Mbak. La,,,," Belum sempat menyelesaikan ucapannya Uti Fillio yang sedang menggendong Valdi datang menimpali ucapannya.
"We lha, giliran Mamanya dateng langsung diem. Fillio, Fillio. Tantrum kali ini jan luar biasa tenan, Dena. Hampir dua jam nggak ada yang berhasil nenangin." Uti Fillio duduk di sebelah Dena mengelus kepala Fillio.
Pandangan Uti Fillio beralih pada Dian, sedangkan tangan kanannya sibuk melepaskan simpul jarik gendongan di bahunya, "Kalo berangkat sekarang aja gimana, Di?"
"Iya, Bu. Sekarang saja mumpung Vella masih tidur. Jadi, Dian nggak rempong bawa dua balita. Vella biar ditungguin sama papanya. Ada Mas Dion juga," jawab Dian sembari meraih putranya yang berusia satu setengah tahun dari pangkuan Uti.
"Ya udah, ayo berangkat. Mbok Jum, tolong ambilin makannya Fillio, ya. Sekalian panggilin Pak Man, kita mau berangkat sekarang," perintah Uti.
🍬🍬🍬
"Dena!"
Dena seketika menoleh kearah sumber suara. Ia yang sedang menyuapi Fillio di depan sebuah gerai pakaian anak seketika membeku. Matanya seakan tidak mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Orang yang selama ini Dena hindari kini justru berjalan mendekatinya. Ingin rasanya menghindar atau melarikan diri, tetapi sudah terlambat.
"Gimana kabarmu Nduk? Sudah lama kok kamu nggak pulang. Lho ini siapa?" tanya Pakde Harno, kakak dari ayah Dena.
"Alhamdulillah baik Pakde."Dena menyalami Pakde Harno, Bude Tanti dan Lidia.
"Aaak, Ma," pinta Fillio.
"Dia siapa?" tanya Bude Tanti dengan ketus.
"Ini mamaku," sahut Fillio sebelum melahap makanan yang disuapkan oleh Dena.
Pakde Harno, Bude Tanti, dan Lidia terperanjat mendengar perkataan Fillio. Seketika Bude Tanti menghardik Dena. "Ooh, pantesan udah lama nggak pulang, ternyata nyembunyiin anak haram. Kamu itu di Jogja suruh kuliah, bukannya malah melac*r. Dasar anak nggak tahu malu! bisanya cuma menyusahkan dan mempermalukan keluarga saja!"
"Tanti! Jaga sikapmu. Malu dilihatin banyak orang. Lagian nggak mungkin dia anak Dena." Pakde Harno manahan tangan kanan Bude Tanti yang hampir melayangkan tamparan pada Dena, "Nduk, bisa jelaskan apa yang terjadi?" Lanjut Pakde Harno.
"Halah, mana ada maling yang ngaku. Sudah lah Pak, nggak usah belain keponakanmu yang dari dulu bisanya cuma nyusahin orang saja! Bapaknya saja sampe nggak mau ngurusin dia, kok kita malah repot-repot belain dia," ucap Bude Tanti.
Dena bergeming. Napasnya tersenggal, seketika dadanya terasa sesak. Cercaan Budenya kembali membangkitkan trauma masa lalu. Hinaan, cacian, makian dan segala perlakuan buruk yang ia terima sejak ibunya meninggal kini kembali terngiang memenuhi benaknya.
"Lho, kok ribut-ribut. Ada apa Dena, mereka ini siapa?" ucapan Uti membuyarkan lamunan Dena.
"Maaf Bu, saya Pakdenya Dena. Kalau boleh tanya, Ibu siapa ya?" ucap Pakde Harno.
"Ini cucu saya dan Denalah yang mendampinginya belajar," jawab Uti sembari mengelus punggung Fillio.
"Aduh Bu, kok bisa-bisanya mempercayakan cucunya sama Dena. Ati-ati lho Bu, nanti cucunya malah jadi anak yang kurang ajar kaya dia," ucap Bude Tanti dengan sinis.
"Tanti, Jaga ucapanmu! Lidia ajak ibumu belanja dulu sana. Bapak mau ngomong bentar sama Dena. Nanti bapak susul," kata Pakde Harno tegas.
Keringat dingin mendadak membasahi tubuh Dena. Seketika kepingan kisah lalunya kembali menari-nari di depan matanya. Bagaimana ibu tirinya membentak bahkan tak segan memukulnya ketika ia mencoba mendekati adik tirinya."Pergi sana! Jangan dekat-dekat anakku! Aku nggak ingin mereka ketularan jadi anak kurang ajar sepertimu. Dasar anak nakal, bisanya cuma menyusahkan orang saja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mama Fillio?
Non-FictionDena tidak menyangka pertemuan dengan seorang balita yang memanggilnya Mama akan berbuntut panjang. Ia harus berperan sebagai Mama demi membantu kesembuhan balita tersebut. Fillio, balita berusia tiga tahun menemukan sosok Mama pada Dena. Fillio akh...