25. Gone

427 62 8
                                    

Berapa purnama? T-T

Jadi sebagai ucapan maafku karena lama update, part ini aku buat panjang. Hampir 3000 kata.

Semoga feel-nya dapet

Happy reading!

***


Bunga yang mekar tak indah lagi jika akarnya dicabut, kecuali bunga tertentu seperti dandelion. Mereka akan menyebar untuk tumbuh kembali. Riana ingin menjadi seperti dandelion yang ada di dalam mimpinya. Sayangnya, dia hanyalah Riana. Riana anak dari Pak Genta dan Bu Manda. Ah, bukan Bu Manda, tapi Bu Rahmi.

Riana tidak habis pikir. Bisa-bisanya dia baru tahu hal itu setelah 27 tahun. Bu Rahmi adalah mama kandungnya. Bu Manda adalah tante sekaligus mama tirinya. Fakta yang lebih mengejutkan lagi adalah perempuan yang dia kira ibunya-yang selama ini sudah disayanginya seperti ibu kandung sendiri-ternyata adalah pembunuh ibu kandungnya. Permainan macam apa ini? Yah, walaupun bukan secara langsung Bu Manda yang membunuh, tapi niatnya itu sungguh luar biasa kejam.

Pantas saja Bu Manda tidak ingin meninggalkan Pak Genta walaupun sering disiksa. Dia ingin menebus dosanya, rupanya.

Riana menelusuri seluruh dapur apartemennya untuk mencari benda tajam. Sayangnya, itu tidak ada lagi. Sekali pun Riana mencari ke seluruh ruangan, benda tajam tidak akan ditemukan. Naufal yang membersihkannya. Antisipasi Riana akan datang diam-diam ke apartemen lamanya untuk melukai dirinya sendiri.

"Aaarrrggghh!" raung Riana seraya menjambaki rambutnya. Awalnya pelan, lama-lama semakin kencang. Dia tidak peduli kalau rambutnya akan rontok dan dia menjadi botak. Yang dibutuhkannya saat ini adalah pelampiasan rasa sakit di dalam jiwanya.

"Riana, stop!" pekik seseorang yang tiba-tiba memasuki kamarnya.

Riana hanya melirik sekilas sebelum kembali menjambaki rambutnya.

"Stop, Riana! Lo ngelukain diri lo sendiri!" Kali ini suara berbeda. Suara yang lebih berat. Dia juga menarik tangan Riana ke belakang, menguncinya di sana walau perempuan itu memberontak.

"Ri, ini aku Annika sama Brian. Kamu gak sendiri. Ada kami. Kamu jangan jambakin rambutmu lagi. Kami bisa jadi tempat keluh kesahmu," ucap Annika tepat di depan wajah Riana yang sudah sembab. Sementara Brian masih menahan tangan Riana.

Tadi, dua insan itu tidak sengaja melihat Riana dengan wajah kacau di lobi. Dengan riwayat Riana, insting mereka mengajak untuk mengikuti perempuan berpenyakit mental itu. Brian yang masih mengingat kode apartemen Riana dari insiden beberapa bulan yang lalu sebelum Riana menikah, membuat mereka bisa masuk dengan leluasa.

Perlahan, Riana berhenti memberontak. Ekspresi frustasinya juga sudah mulai normal. Dia memang butuh teman untuk berkeluh kesah. Selama ini dia tidak punya teman yang bisa dijadikannya tempat berbagi. Naufal? Walaupun pria itu tahu banyak, tapi Riana selalu takut bercerita padanya. Takut jika Naufal tahu lebih banyak, maka pria itu akan illfeel meninggalkannya.

Malam itu, Riana kembali menceritakan segala fakta tentang keluarganya pada Annika dan Brian. Dua insan itu mendengarkan dengan saksama. Sesekali merespon tanpa menjatuhkan atau memihak siapa pun.

"Aku gak tau harus gimana. Aku udah terlanjur sayang sama ... Mama. Tapi dia yang udah bunuh ibu kandungku." Suara Riana terdengar sengau, terutama saat menyebutkan 'Mama'.

"Mamamu sudah menyesal sama perbuatannya. Dan seperti yang kamu ceritakan. Mamamu akhirnya gak jadi ngelakuin tindakan sesuai rencananya. Tapi sudah memang takdirnya, kecelakaan sungguhan menimpa mereka sepulang dari belanja. Lagi pula, Mamamu juga udah berusaha menebus niat jahatnya itu."

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang