13. Konkurensi

347 53 6
                                    

Langit di ufuk barat mulai kemerahan. Cahaya gagah siang tadi, kini melemah di ujung hamparan lahan dandelion. Embusan angin membuat beberapa kelopak dandelion terbang mencari tempat ternyaman.

"Tumbuhlah kau, Nak," ucap seorang perempuan seraya memeluk perutnya yang membuncit. "Tumbuhlah dengan sehat supaya kita bisa bertatap muka," lanjutnya dengan senyum penuh kehangatan.

Kemudian, dia menatap seorang pria yang berada di antara dandelion berjalan ke arahnya. Di depan cahaya fajar, pria itu melangkah semakin dekat pada wanitanya. Beberapa batang dandelion sudah ada di tangannya. Senyum perempuan itu semakin lebar seiring mengikisnya jarak di antara mereka.

"For you, honey." Pria itu mengulurkan dandelion seraya menumpukan satu kakinya untuk menyamai tinggi wanitanya yang duduk di karpet.

Dengan senang hati, wanita itu menerima uluran prianya. Kemudian, dia menepuk sisi kosong di sampingnya. Si pria pun mendudukkan bokongnya di karpet itu, lalu merangkul pundak wanitanya.

"Kita tiup sama-sama." Si wanita mengangkat dandelion setinggi mulutnya.

"Fuuuh ...."

Begitu angin berembus dari mulut mereka, kelopak dandelion beterbangan. Ada yang langsung jatuh, ada beberapa meter baru jatuh ke bumi, dan ada yang masih terbang. Entah kapan akan jatuh. Itu bukan urusan manusia. Biarlah angin yang menuntun dandilion untuk menemukan tempat ternyaman agar dapat tumbuh dan berkembang.

"Mas Genta tau gak, dandelion itu seperti manusia?" tanya si perempuan.

Pria yang dipanggil 'Mas Genta' itu menggeleng dan berkata, "Gak. Emang apa kesamaannya?"

"Bukan mereka yang menentukan di mana mereka akan tumbuh. Selama angin masih menerbangkan mereka, mereka masih akan terus mencari rumah. Manusia juga gitu. Kita gak bisa milih mau terlahir dari keluarga seperti apa. Jadi bukan salah anak kalau mereka lahir dari keluarga yang kurang mampu. Bukan salah anak juga kalau mereka lahir dari kesalahan orang tua. Na'udzubillah kalau yang itu, Mas. Semoga anak cucu kita terhindar dari hal itu, Mas."

"Aamiin. Aku bakal jaga mereka nanti. Bakal didik mereka dengan baik." Tangan Genta mengelus perut buncit wanitanya. Si wanita memeluk pinggang prianya, kemudian merebahkan kepalanya di pundaknya.

Sore itu, di atas bukit di antara dandelion yang tumbuh subur, sepasang suami istri itu menikmati harinya dengan santai. Beberapa makanan dan minuman dari rumah tertata di karpet. Hari ini adalah hari yang sudah mereka siapkan. Hari ini bukanlah hari terbahagia mereka, tapi ini adalah salah satu moment terspesial yang tidak akan pernah terlupakan. Terutama oleh Genta.

"Dandelion cocok gak sih untuk nama perempuan?"

"Mas Genta mau kasih anak kita nama Dandelion?"

"Bagus, gak?"

"Bukannya gak bagus, tapi aku udah nyiapin nama, Mas."

"Oh ya? What is it?"

"Riana Alika. Riana artinya meraih harapan, dan Alika artinya kebahagiaan. Bisa juga yang tercantik. Aku mau dia jadi sumber harapan dan kebahagiaan kita, Mas." Si wanita menggenggam tangan prianya di perutnya.

Kedua mata mereka saling bertatapan. Senyum kebahagiaan tak luntur sejak tadi. Bersamaan dengan mentari yang semakin menenggelamkan dirinya, mereka saling menyalurkan kebahgiaan dan harapan melalui ciuman. Ciuman yang penuh kasih, lembut tanpa nafsu.

***

"I miss you, honey."

Senyum getir terlukis di wajahnya. Jarinya mengelus foto berbingkai 12 cm sama sisi. Bingkai yang selalu terpajang di meja kerjanya di rumah.

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang