12. Konseling

354 51 1
                                    

Dingin dari AC mengudara di ruangan yang dominan putih. Warna itu kontras dengan minuman yang terhidang di meja. Selain perempuan berjas putih, ada perempuan berpakaian serba hitam duduk di seberangnya dengan meja kecil sebagai pembatas. Sudah sepuluh menit mereka berbicara. Perempuan berjas putih yang umurnya sudah hampir setengah abad terus mengajukan pertanyaan, sedangkan perempuan berpakaian serba hitam yang umurnya baru menginjak dua puluh tahun itu sebagai penjawab.

Ujian? Wawancara kerja? Penyelidikan kasus? Bukan. Kegiatan yang mereka lakukan lebih penting dari hal itu. Konseling.

"Sudah sejak kapan Dek Riana selalu melukai diri sendiri?" tanya perempuan paruh baya itu yang bernama Vira Alamsyah, M.Psi..

"Kayaknya sejak SD, tapi saya baru tahu kalau perbuatan itu gak benar pas saya sudah SMP," jawab Riana dengan lugas.

Dokter Vira mencatat sesuatu di kertas yang dipegangnya sejak tadi.

"Dek Riana tahu apa penyebabnya?" tanya Dokter Vira usai mencatat.

Riana berpikir sejenak. Mencoba memastikan bahwa setiap dia melukai dirinya sendiri karena apa.

"Setiap kali saya merasa bersalah," jawab Riana kemudian.

"Bersalah pada apa?"

"Semuanya."

Dokter Vira menahan dirinya untuk tidak bertanya, karena Riana nampak seperti menyimpan sesuatu. Semenit dia menunggu, tapi Riana tidak lagi melanjutkan ucapannya.

"Boleh saya tahu lebih spesifik tentang 'semuanya', yang pernah kamu alami?"

Riana menutup matanya. Dokter Vira memicingkan mata. Di sinilah titik kegelisahan gadis muda di hadapannya yang menyebabkan dia selalu melukai dirinya sendiri.

"Pada apa saja Dek Riana merasa bersalah?" Dokter Vira mencoba memancing. "Apa itu berkaitan dengan kuliah?"

Pelan-pelan Dokter Vira bertanya untuk melihat reaksi Riana. Dia sudah berkali-kali menghadapi orang seperti ini. Beberapa orang akan menceritakan dengan gamblang apa yang menjadi keresahannya, tapi ada juga yang tidak mau membagikan apa yang menjadi bebannya. Jadi, Dokter Vira akan memancing dengan banyak pertanyaan dengan lamat-lamat, dan melihat reaksi yang timbul dari pertanyaannya.

Riana adalah pasiennya yang baru pertama kali dijumpainya. Dari beberapa pertanyaan yang diajukan sejak awal, Riana selalu menjawab dengan singkat, seolah dia tidak ingin menceritakan kekalutannya.

Dokter Vira paham akan hal itu. Penyakit mental seperti aib yang harus ditutup rapat. Kebanyakan orang akan memandang rendah, menganggap alay, atau bahkan menganggap seseorang kurang beriman. Kemudian menjauhi mereka. Padahal orang yang memiliki penyakit mental justru sangat membutuhkan dukungan dari orang di sekitarnya.

"Berkaitan dengan keluarga?" tanya Dokter Vira lagi.

Melihat Riana yang semakin mengeratkan pejaman matanya, Dokter Vira mengangguk, lalu mencatat lagi. Di situ titik permasalahannya.

"Apa kedua orang tua Dek Riana masih hidup?"

Riana membuka matanya dan mendapati Dokter Vira tersenyum ramah padanya.

"Ya, mereka masih hidup."

"Dek Riana panggil mereka apa?"

"Mama dan ... Papi."

Papi. Ada sedikit jeda saat Riana menyebut 'Papi'. Dokter Vira meletakkan kertas dan polpennya di meja. Kemudian, tatapannya fokus pada Riana. Mungkin anak muda ini memiliki orang tua yang kurang harmonis.

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang