9. Efek

402 62 2
                                    

Seorang gadis berusia 18 tahun tengah menatap rumah di seberang jalan dari dalam mobilnya. Ini sudah tujuh hari berturut-turut dia datang ke situ dan melakukan hal yang sama. Hanya menatap kediaman sederhana itu. Rumah itu tidak lebih besar dari rumahnya yang bak istana. Jauh berbeda. Namun, dari rumah berlantai satu itu, Riana bisa merasakan kehangatan di dalamnya.

Naufal Aldandy. Nama dan wajah si pemilik nama itu selalu terlintas di pikirannya semenjak pertemuan tragis di Yogyakarta. Berdasarkan alamat yang diberikan Naufal, Riana membuktikan kebenaran pemuda itu.

Rumah yang sekarang dihuni oleh kedua orang tua dan seorang putri itu benar kediaman Naufal di Jakarta. Pria yang sedang memandikan motor bebeknya, wanita yang sedang menyiram tanaman, dan anak remaja yang sedang olahraga lompat tali itu adalah keluarga dari Naufal. Riana sudah memastikannya sendiri dengan mengirim surat ke alamat itu yang ditujukannya untuk Naufal. Entah Naufal sudah tahu isi surat itu atau belum. Namun, dia yakin kalau Naufal pasti akan membacanya.

"Kak Taniaa!"

Pandangan Riana beralih ke seorang anak usia SD yang memasuki pekarangan keluarga itu.

"Eh, Vita. Dari mana?" Remaja perempuan yang dipanggil itu menghentikan aktivitasnya. Dia tersenyum kepada anak SD itu. Senyum yang pernah ditujukan untuk Riana saat menyamar sebagai tukang pos.

Sebelum menjawab, anak SD yang bernama Vita itu menyalami kedua orang tua Naufal.

"Vita dari kerja kelompok di rumah temen. Kata Papa, disuruh nunggu di sini, karna malam baru bisa jemput," jawab Vita seraya menghampiri Tania.

"Eh, Vita boleh main ini juga gak?" Vita menunjuk tali karet yang sudah diikat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk lompat tali.

"Ayo, kita main bareng."

Riana tersenyum melihat interaksi kedua anak perempuan itu. Pemandangan yang dilihat melalui kaca mobilnya itu mengingatkan dirinya dengan Wiyana—adik tersayangnya—saat bermain. Namun, senyuman yang tersungging itu hanya sebentar, karena Tania mengaduh seraya memegang wajah sebelah kanannya. Riana sempat melihat kalau tali karet itu tidak sengaja menampik wajah Tania.

Vita mematung, dan kedua orang tua Tania langsung menghampiri putrinya.

"Kenapa?"

"Vita gak sengaja, Tante," sesal Vita, karena dia yang memegang tali itu.

"Coba Ayah lihat," pinta pria yang tangannya ada sedikit busa sabun itu kepada putrinya.

"Gak apa-apa kok, Yah. Kan?" Tania membuka tangannya.

Pasti sakit, pikir Riana. Pasalnya, tali itu terputar kencang tadi.

"Iya, gak apa-apa," ucap wanita berdaster bunga-bunga.

"Vita minta maaf sama Kak Tania," tutur pria itu.

"Vita minta maaf, Kak Tania." Vita mengulurkan tangannya. Dari raut wajah Vita, dia menyesali perbuatan tidak disengajanya itu.

Tania menyambut uluran tangan Vita. "Kak Tania maafin."

"Nah, udah. Sekarang kalian istirahat dulu."

Riana terpaku melihat pamandangan di depannya. Kedua anak itu masuk ke dalam rumah tanpa ada adegan kekerasan. Bahkan kedua orang tua itu melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.

Tidak ada kekerasan. Sekali lagi, tidak ada kekerasan. Sangat berbeda dengan papinya. Ah, Riana memang sudah sadar sejak awal. Keluarganya berbeda dengan keluarga orang lain, terutama keluarga Naufal Aldandy. Itu sebabnya, berawal dari penasaran, Riana jadi selalu menyempatkan waktu sepulang dari kampus untuk mengunjungi rumah ini, walau hanya mengamati dari dalam mobil.

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang