3. Planning

684 102 15
                                    

Jangan lupa klik tombol bintang di pojok kiri bawah, supaya aku tambah semangat nulisnya.

***


Uap panas menguar dari cangkir putih. Seorang lelaki tengah menatap kosong isi cangkirnya yang masih utuh. Hitam pekat. Sudut bibirnya terangkat. Apakah nasib keluarganya harus sepahit dan sepekat kopi hitam?

Keputusan besar telah diambilnya. Keluar dari perusahaan adik iparnya. Entah nanti bagaimana dia akan menghidupi keluarganya kelak. Walaupun Pak Genta mengizinkannya menikahi Riana, tapi pria paruh baya itu tetap tidak menurunkan perangainya.

Naufal tidak menyesali keputusannya untuk menikahi Riana dan bertanggung jawab atas apa yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya. Sama sekali tidak ada penyesalan, karena dia mencintai Riana.

Pikirannya saat ini rumit, karena masalah adiknya. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada rumah tangga adiknya. Namun, melihat Tania sangat tidak ingin menemui suaminya, jelas dia berpikir pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Sesuatu yang membuat Tania terluka dan kecewa.

Masalah adiknya belum selesai, sekarang dia harus mencari pekerjaan. Tidak mungkin dia menjadi pengangguran sampai pernikahannya yang sebentar lagi.

"Kayaknya susah ini. Orang-orang sekarang lebih suka makan ice cream, pizza, cake, dan makanan modern lain daripada makan dodol."

Sayup-sayup Naufal mendengar pembicaraan di meja sebelahnya. Gerombolan tiga pemuda. Dilihat dari wajahnya, mereka berusia awal 20-an.

"Diantara kita juga gak ada yang tau bisnis. Nentuin harga aja pusing, lebih-lebih pas pemasaran. Gue mah cuma tau buat doang." Pemuda berkaca mata menimpali.

"Tapi sayang banget bahan-bahan yang udah kita beli." Pemuda yang lebih gemuk daripada yang lain berbicara lagi.

"Ya udah, kita jual aja. Atau kita ganti produk aja. Kita buat apa gitu yang lebih modern." Pemuda berkumis berusaha memberikan pengaruh positif.

"Permisi, sorry, ganggu," ucap Naufal yang sudah berdiri di meja ketiga pemuda yang sedang membicarakan bisnis.

***

Naufal tersenyum mengingat awal mulanya bisa bergabung membangun bisnis bersama remaja-dewasa yang baru lulus kuliah. Sekarang, bersama Naufal bisnis itu akan berjalan. Naufal yang sudah punya pengalaman dalam dunia bisnis memudahkan mereka menemukan rencana-rencana bisnis.

Naufal bukan bos, tapi dia yang menyusun rencana. Mada yang merupakan bos sesungguhnya karena dia yang memiliki tempat, alat, dan penanam modal sangat senang dengan bergabungnya Naufal. Niatnya yang ingin menjadi pengusaha muda yang sukses akhirnya menemukan titik terang.

Mada tidak memiliki background bisnis. Dia kuliah jurusan kimia murni. Pun dengan kedua temannya. Mereka tidak ada yang satu jurusan, tapi tidak ada yang pernah belajar ilmu bisnis. Prasaja, pemuda berkaca mata adalah lulusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (Penjas Kesrek). Sedangkan Adrian, pemuda yang lebih berisi diantara mereka adalah lulusan Pendidikan Bahasa Inggris.

Sekarang, mereka tidak lagi bertiga, melainkan berempat. Sesuai saran Naufal, Prasaja melakukan pelatihan di pemerintahan selama seminggu. Dari pelatihan itu, mereka mendapat sumbangan dana dari pemerintah.

Mada baru tahu kalau pemerintah melakukan program semacam ini. Seandainya dia tahu, Prasaja sudah disuruhnya pergi pelatihan sejak dulu. Selain dana, banyak ilmu industri yang didapat Prasaja.

Naufal tersenyum melihat kawan barunya bersemangat lagi. Pabrik kecil yang hampir tutup kini beroperasi lagi. Naufal didaulat sebagai ketua marketing, tapi dia menolak. Bayangan kekuasaan Pak Genta masih mengikutinya. Naufal hanya mengantisipasi kalau-kalau Pak Genta menyerang pekerjaannya lagi.

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang