4. To You

584 94 9
                                    

Ingat  ya, alurnya maju-mundur.

Happy reading!

***


"Mamaa!" teriak seorang anak perempuan berusia lima tahun. Riana. Matanya bengkak, karena sudah setengah jam menangis. Lima belas menit pertama menangis karena jatuh dari sepeda. Lima belas menit selanjutnya menangis karena perbuatan papinya kepada mamanya.

Walaupun Riana sudah berhasil dibawa oleh Mbok Ipeh ke kamarnya, tapi anak kecil itu sempat melihat papinya melayangkan sabuk ke punggung mamanya. Ini pertama kalinya dia melihat kejadian itu secara langsung setelah sebelumnya hanya mendengar suara mamanya yang menangis dan merintih.

"Mbok, Mama ...."

"Ssstt ... Mama gak apa-apa, sayang." Mbok Ipeh memeluk Riana. Menempelkan telinga Riana ke dadanya, sementara telinga Riana yang satunya ditutup dengan tangannya. Anak kecil ini tidak boleh mendengar suara penyiksaan itu.

Dalam dekapan Mbok Ipeh, Riana menangis histeris.

"Ssst ... Riana tutup matanya ya. Ini cuma mimpi. Kalau Riana bangun, Riana bisa main lagi sama Mama." Mbok Ipeh mencoba menenangkan. Sesekali dia meringis saat mendengar jeritan nyonya rumah ini.

Tangan kiri Mbok Ipeh yang ada di lengan Riana, mengelusnya pelan bersamaan kalimat-kalimat penenang yang terus diucapkannya. Berharap, Riana akan tertidur dan saat bangun menganggap semua ini hanya mimpi.

Sementara itu, perempuan yang mendapat siksaan berusaha meredam suara rintihannya. Namun, sabuk itu sangat sakit. Tangannya tidak mampu meredam suara pekikannya yang keluar setiap sekali cambukan.

***

Riana tersentak dalam tidurnya. Keningnya basah oleh keringat. Dadanya naik turun, karena napasnya yang tidak teratur. Cukup lama dia berdiam diri, mencoba menghilangkan rasa bersalahnya yang tiba-tiba muncul karena mimpi. Ah, bukan. Itu bukanlah mimpi, melainkan kenyataan yang terbawa sampai mimpi.

Jika dulu Riana menganggap itu mimpi, sekarang dia sudah tahu kalau itu bukanlah mimpi. Doktrin yang diberikan Mbok Ipeh hanya bisa menipu pikirannya sampai dia kelas dua SD. Nyata bahwa Pak Genta—papinya—sekejam itu sejak dulu.

Merasa lebih baik, Riana menyibak selimutnya. Kemudian berjalan memasuki kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.

Jalannya masih oleng, dan tatapannya masih sayu. Namun, ketika dia sampai di depan wastafel, matanya langsung membulat.

"Sikat gigi siapa ini?" Riana mengangkat sikat gigi berwarna merah yang berdiri di samping sikat giginya yang berwarna pink.

Lima detik, barulah Riana sadar bahwa dia sudah menikah. Dan sikat gigi warna merah ini adalah sikat gigi milik suaminya—Naufal. Sudah tiga hari menjadi istri, Riana masih belum terbiasa dengan statusnya.

Senyum Riana terkembang. Kemudian, dia melanjutkan niatnya. Menyikat gigi dan cuci muka.

Setelah lebih segar, barulah Riana keluar kamar.

Di dapur, Naufal sudah sibuk dengan celemek yang melekat di tubuhnya.

"Kamu ngapain, Fal?" tanya Riana kemudian duduk di kursi bar. Kemudian, dia meraih apel yang ada di keranjang buah.

"Masakin sarapan."

Seketika, apel berhenti di depan mulut Riana yang menganga.

Menelan saliva, Riana meletakkan kembali apel ke keranjang buah. Diamatinya punggung Naufal yang sedang menggoreng telur. Selama Naufal menyiapkan sarapan, Riana hanya mengamati Naufal dalam diam. Namun, hatinya terasa tersentil. Dia merasa, Naufal sengaja memasak, karena tidak ingin memakan masakannya yangpunya rasa nano-nano.

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang