7. Anjangsana

491 70 3
                                    

Universitas Gajah Mada yang berlokasi di Yogyakarta adalah salah satu universitas terbaik di Indonesia. Dan di sinilah Riana menginjakkan kaki hari ini. Bukan karena dia berkuliah di UGM, melainkan dia dan beberapa temannya sedang melakukan kunjungan. Kampusnya memang selalu mengadakan kunjungan ke kampus di luar daerah setiap tahun. Dan tahun ini, angkatannya yang mendapat giliran. Orang-orang yang dipilih pun hanya mereka yang ber-IPK tinggi atau kenal dekat dengan dosen yang akan mendampingi mereka. Dan Riana termasuk keduanya. IPK-nya bukan tertinggi, tapi cukup tinggi. Dosen yang mendampingi mereka pun kenal dengan Pak Genta.

Siang ini, mereka sudah menemui beberapa petinggi kampus. Tentunya di pimpin oleh dosen mereka yang kebetulan berteman baik dengan rektor kampus itu. Mahasiswa yang melakukan kunjungan hanya tujuh orang bersama seorang dosen.

Riana memerhatikan sekitar yang terasa asing. Tanpa sadar, dia telah keluar dari rombongannya. Mungkin telepon dari papinya membuatnya kurang fokus. Setelah telepon selesai, dia baru sadar kalau tidak lagi berjalan bersama rombongannya.

Dengan segera, Riana mencari kontak temannya di gawainya. Namun, saat panggilan tersambung, gawainya langsung mati.

"Shit! Seharusnya gue bawa power bank tadi. Gimana nih sekarang? Mana gak ada yang gue kenal, lagi."

Riana celingak-celinguk dengan harap-harap cemas. Berharap teman-temannya kembali.

"Maaf, lihat mahasiswa yang pakai almamater kayak gini, gak?" tanya Riana pada salah seorang mahasiswa yang lewat.

"Oh, mahasiswa dari Jakarta ya? Tadi ke arah gedung lab," jawab mahasiswa UGM itu dengan logat jawanya yang kental. Kemudian dia menjelaskan arah ke gedung laboratorium.

"Oh iya, makasih ya."

"Sama-sama, Mbak. Maaf, gak bisa ngantar, soalnya ada jam kuliah."

"Iya, gak apa-apa. Ntar aku tanya sama orang lagi kalau bingung."

"Iya, Mbak. Permisi."

Mahasiswa UGM itu pergi. Begitu pun dengan Riana yang berjalan cepat sesuai arahan yang sudah dijelaskan oleh mahasiswa tadi.

Langkah kakinya sudah hampir melewati koridor. Jika Riana belok kiri, ada jalan setapak yang langsung menuju ke gedung laboratorium. Itu kata mahasiswa tadi.

Bukk.

Riana langsung terduduk saat tubuhnya menabrak benda keras yang datar. Pantatnya sakit, karena mencium lantai dengan paksa. Hidung mancungnya juga sedikit perih, karena benda keras yang ditabraknya. Kepalanya pusing, karena seharusnya di sini ada pembelokan. Masa iya dia dikerjai mahasiswa tadi?

'Kurang ajar,' rutuk Riana dalam hati.

"Wah, gawat, Fal. Nabrak. Tuh kan, seharuse wong telu, ben enek seng nunton. Koe sih, Fal, ngeyel." (Seharusnya bertiga, biar ada yang menuntun.)

Riana mendengar jelas suara itu. Suara khas orang Jawa. Dibuka matanya yang sudah menutup sejak menabrak tadi. Terlihat papan berukuran 2 X 3 meter berada di depannya. Itulah papan yang ditabrak Riana tadi. Sedangkan pada di samping kedua sisi papan itu, berdiri mahasiswa yang sedang menatap Riana dengan tatapan nanar.

"Mbak bisa berdiri atau perlu dibantu?" tanya mahasiswa yang berada di sebelah kanan Riana. Dari logatnya, tidak terlalu Jawa kental.

"Bisa sendiri kok," jawab Riana, kemudian berdiri dengan santai.

"Loh, mbak!" pekik mahasiswa di sebelah kiri Riana. Telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Riana. "Sampeyan mimisan." (sampeyan=kamu)

Refleks, Riana menyentuh bawah hidungnya. Pantas agak perih.

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang