2. Gemelantam

901 118 12
                                    

Mau mengingatkan kalau cerita ini memakai alur campuran. Alur mundurnya menceritakan kehidupan tokoh utama sebelum menikah. Entah itu waktu kecil, beberapa tahun lalu, atau beberapa hari sebelum menikah.

*** 


Hiruk pikuk orang. Gema suara. Kerlap-kerlip lampu. Semua menjadi satu dalam ruangan. Tempat yang selalu ramai setiap malam itu tidak terlalu asing bagi Riana. Dia bukan tidak tahu tempat seperti itu, tapi ini kedua kalinya dia datang ke sini.

Pertama kali saat kelulusan SMA. Dia datang karena ajakan teman-temannya. Kata temannya, "Kita harus coba tempat itu. Kita udah bukan anak-anak lagi, masa gak pernah ke tempat itu. Sekali aja deh."

Seperti 10 tahun yang lalu, Riana datang untuk kedua kalinya karena ajakan teman-temannya. Kali ini bukan teman SMA, melainkan teman kuliah yang mengadakan reuni di klab malam.

"Buat lo," seorang pria berkemeja putih menyodorkan minuman kepada Riana yang sedari tadi hanya duduk memerhatikan teman-temannya. Sejujurnya, dia tidak suka dengan suara bising ini. Namun, jika dia mengurung diri di kamar, itu membuatnya ingin melukai diri sendiri.

"Gue gak bisa minum, Ro" tolak Riana. Dia tahu minuman apa itu.

"Kalau gitu gue ambilin jus aja ya." Pria yang disapa Ro alias Varo beranjak dan menghampiri bar tender sebelum Riana sempat menolaknya.

Sekarang Riana malah ingin pulang saja. Menyembunyikan dirinya di dalam kegelapan dan membiarkan silet bermain di tubuhnya. Dengan begitu, dia merasa sedikit lebih baik.

Dia pikir, melepaskan Naufal akan membuat hatinya tenang. Nyatanya tidak. Justru rasa ingin melukai diri semakin besar. Dia mencintai Naufal, begitu pula dengan Naufal. Tapi mengapa mereka tidak bisa bersama?

Jika Pak Genta—papinya Riana—tidak melukai Naufal, Riana tidak akan melepaskan pria itu. Naufal sudah tertancap dalam di hatinya. Namun, membiarkan pria itu di sisinya, artinya membuat pria itu terluka.

Riana tidak ingin orang yang disayanginya terluka lagi. Sudah cukup Mama dan adiknya menjadi korban. Jangan ada orang lain lagi.

"Nih, jus jeruk." Varo menyodorkan jus jeruk kepada Riana.

Menatap tanpa minat, Riana tetap mengambil sodoran itu.

"Udah lama ya kita gak ketemu. Lo gak berubah, tetep cantik."

Riana mengernyit. Dulu Varo adalah laki-laki yang tidak gampang memuji perempuan walau dia ramah kepada semua orang.

"Lo mabuk?" tebak Riana.

Varo hanya mengedikkan bahu, lalu meminum wine yang tadi ditolak Riana.

Melihat Varo menanggapi dengan dingin, Riana cuek lantas meminum jus jeruk pemberian Varo hingga habis agar dia bisa pulang. Tempat ini bukan dunianya. Gemerlapan itu tidak cocok dengan hatinya yang gelap.

Kepalanya juga pusing mendengar dentuman musik.

"Ri, ayo dansa. Lo dari tadi duduk mulu," ajak Dinda pada Riana.

Niat hati ingin pulang, Riana malah terseret di lantai dansa. Dia berusaha menolak dan kembali duduk saja, tapi temannya itu malah menahan dan membuat tubuhnya ikut bergerak mengikuti irama musik DJ.

Lima belas menit kemudian, akhirnya Riana berhasil duduk kembali di sofanya tadi. Rupanya, Varo masih ada di situ. Pria itu tersenyum kepada Riana yang ditanggapi tak acuh.

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang