18. Pandora

346 61 9
                                    

Di dunia ini selalu ada rahasia, entah itu kecil atau besar.

Di dunia ini selalu ada kebohongan, entah kebohongan kecil atau besar.

Semua yang kita lakukan dan rahasiakan, selalu ada dampak setelahnya.

Ada yang mengatakan, lebih baik jujur walau itu pahit. Mungkin ada benarnya. Setidaknya, kepahitan itu tidak akan sepahit jika terlambat jujur.

Malam itu, di waktu yang bersamaan, Naufal dan Pak Genta mendengar fakta yang baru mereka tahu dari orang yang berbeda. Sebenarnya, tidak ada yang mempermainkan hidup seseorang. Toh, Naufal senang bisa menikahi Riana. Hanya saja kenapa dia harus berbohong?

Mendengar fakta dari Varo, Pak Genta menyadari sesuatu. Riana sangat mencintai Naufal.

"Kamu kan yang menghamili putri saya?!" tunjuk Pak Genta tepat di wajah pria yang duduk di depannya. "Kamu melakukan itu di malam reuni teman angkatan kuliah kalian. Iya, kan?!" Pak Genta menggebrak meja.

Wajah Varo yang sedikit lebam menampakkan kebingungan.

"Apa Riana betulan hamil?" tanya Varo dengan dahi berkerut. Dia pernah mendengar kabar dari teman kantornya bahwa Riana hamil sebelum menikah, tapi dia pikir itu hanyalah gosip, karena yang dinikahi adalah Naufal. 

Varo yang pernah terlibat kerjasama dengan Naufal, sedikit tahu bagaimana pria itu. Dan untuk melakukan hal senonoh, dia pikir itu tidak mungkin dilakukan Naufal. Namun, siapa yang tahu. Varo jelas tahu bagaimana laki-laki sesungguhnya.

"Apa maksudmu? Apa kalau Riana tidak hamil, kamu tidak akan bertanggung jawab, hah?!"

"Bertanggung jawab? Wait. Dari cara Anda bicara, dan bagaimana Anda langsung memukul saya saat saya baru masuk, saya menyimpulkan kalau Anda berpikir anak yang dikandung Riana adalah anak saya. Begitu?"

"Memang siapa lagi kalau bukan kamu, keparat?! Kamu yang menggotong putri saya malam itu!" Urat leher Pak Genta terlihat menonjol setiap kali dia bicara, menandakan dia sangat marah. Bahkan, tangannya yang terkepal bergetar, menahan sebisa mungkin agar tidak melayang ke wajah pria di depannya. Dia semakin geram, karena Varo tidak menunjukkan rasa bersalahnya.

"Bagaimana bisa itu anak saya, kalau saya tidak pernah meniduri putri Anda!" tandas Varo. "Kalau Anda bilang saya adalah orang yang menaruh obat bius di minumannya, maka saya akan mengakuinya. Tapi ini ...?"

Brak.

Pak Genta berdiri seraya menggebrak meja. Rasanya dia ingin melompat melewati meja untuk menghajar Varohabis-habisan. Cara Varo berbicara benar-benar seperti orang brengsek. Okey, anggap saja dia tidak meniduri Riana. Namun, memberikan obat bius pada seorang gadis, apa lagi tujuannya kalau bukan untuk melakukan hal negatif pada si gadis?

Cepat-cepat Varo melanjutkan ucapannya sebelum Pak Genta menghajarnya lagi.

"Kalau Anda tidak percaya, Anda bisa tanya sama Dinda. Dia teman seangkatan kami juga. Dia yang membawa Riana malam itu." Varo mengelap sudut bibirnya, lalu berdiri. Ditatap sinis Pak Genta yang sudah terduduk sebelum meninggalkan ruangan makan VIP itu.

Akhirnya, Pak Genta benar-benar mencari teman putirnya yang bernama Dinda. Tidak sulit mencari informasi tentang perempuan itu.

Dinda yang dihubungi tiba-tiba oleh Pak Genta, agak takut-takut menemui pria paruh baya itu. Dia sudah pernah mendengar dari Riana bagaimana ringan tangannya Pak Genta. Dia takut kalau Pak Genta akan memukulnya. Bagus kalau langsung mati, setidaknya dia tidak merasakan sakit lagi. Namun, kalau dia malah menjadi cacat setelahnya? Siapa yang mau menikah dengannya?

Walaupun takut, Dinda tetap menemui Pak Genta dan menceritakan semuanya. Dia pun mengakui bahwa ide itu darinya. Setelah membeberkan semuanya, dia sudah pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya. Dihajar? Tak apa, karena dia merasa iba pada Riana yang batinnya selalu tersakiti.

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang