8. Kamuflase

413 55 3
                                    

Angin mengarak awan dari arah timur ke barat. Warna putihnya dan biru yang lebih dominan menandakan bahwa hari ini akan cerah. Kupu-kupu dengan suka citanya menghisap nektar dengan menenggelamkan kepala pada mahkota bunga. Dengan suasana seperti ini, seharusnya ini adalah hari yang menyenangkan. Sayang, kesenangan itu sirna saat seoarang gadis berusia 14 tahun tersungkur di lantai tepat di hadapan seorang bocah berumur tujuh tahun.

"Wiya!"

Seorang pria bertubuh tinggi besar segera menghampiri kedua anaknya itu. Riana meringis saat Papinya membantunya berdiri. Lututnya serasa nyeri, karena terbentur lantai. Namun, beberapa saat kemudian, rasa nyeri dilututnya tidak akan sebanding dengan rasa sakit dari rotan kurus yang dipukul Pak Genta ke betis Wiyana.

"Papi, udah. Riana yang salah. Riana yang ceroboh," mohon Riana seraya memeluk Pak Genta yang sudah menyambuk Wiyana tiga kali. Dia terjatuh memang ada sangkut pautnya dengan Wiyana, tapi bukan berarti anak itu harus mendapat hukuman seperti ini. Hukuman yang lebih parah, padahal Riana tahu betul kalau Wiyana tidak berniat membuatnya terjatuh karena terpeleset mainannya yang sembarangan diletakkan.

"Diam saja kamu di situ Riana!" Pak Genta mendorong Riana hingga terduduk di sofa.

"Papi, maaf," rengek Wiyana dengan sesenggukan. Dipukulan pertama, dia sudah menangis. Sekarang dia semakin menangis. Jeritannya tak tertahankan setiap rotan kurus nan kokoh itu menghantam betisnya.

"Papiii ...." Setiap Riana hendak menolong Wiyana, Pak Genta selalu menahannya.

"Wiyana kalau main gak boleh lukai Kak Ana! Wiyana sudah buat lutut Kak Ana luka!"

"Iya, Papii ... Wiya janji gak lukai Kak Ana lagi. Maafin Wiya, Papi. Arg ... Hiks ...."

Pukulan ke sembilan, Pak Genta baru berhenti memukul. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, dia meninggalkan kedua anaknya begitu saja.

Tubuh Wiyana yang sudah lemas langsung ambruk. Sebelum mencium lantai, Riana lebih dulu menangkap tubuh itu.

"Naik ke punggung Kak Ana," suruh Riana yang langsung dituruti Wiyana yang sudah tidak memiliki tenaga. Bahkan untuk menyuarakan tangisnya pun dia tak sanggup, walau air mata terus mengalir.

Riana membopong tubuh ringkih Wiyana hingga ke kamar adiknya itu. Hari ini tidak ada Bu Manda, karena pergi ke rumah anaknya Mbok Ipeh untuk 100 harinya Mbok Ipeh. Mbok Ipeh sudah mengabdi di keluarganya sejak masih gadis, jadi dia sudah dianggap seperti keluarga.  Sedangkan, Pak Genta, Riana, dan Wiyana rencananya akan ke sana nanti malam. Entah itu akan terealisasikan atau tidak, karena kondisi Wiyana nampaknya tidak memungkinkan. Tidak ada satu pun anggota keluarga yang bukan penghuni rumah ini yang tahu bagaimana berangnya Pak Genta.

Kamuflase. Riana bukan anak kecil lagi yang bisa dibohongi setiap kali Pak Genta dan Bu Manda menampakkan keromantisannya. Jika dulu Riana pikir, kedua orang tuanya sudah harmonis. Kini, Riana remaja hanya tersenyum sinis saat Pak Genta terlihat manis kepada Bu Manda di depan orang lain.

Saat Riana merebahkan tubuh Wiyana di ranjangnya, anak itu sudah menutup matanya. Tangisnya juga sudah hilang. Namun, dalam tidurnya, Wiyana nampak gelisah. Terlihat dari keningnya yang berkerut dan terdapat keringat.

"Wi ...," lirih Riana seraya mengelap keringat di kening adiknya. Riana tersentak saat merasakan kehangatan dari kulit Wiyana.

"Demam." Riana segera turun ke lantai satu untuk mengambil kompres instant dan salep luka yang ada di laci ruang keluarga. Alat P3K di rumahnya tidak pernah kosong. Tentu saja. Hampir setiap hari ada salah satu anggota keluarga yang harus diobati.

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang