17. Terorak

354 55 6
                                    

Bantu temukam typo

***

Pandangannya masih gelap saat tercium aroma yang membuatnya tenang. Penasaran, dibuka matanya. Dandelion. Itu yang pertama kali tertangkap oleh indera penglihatannya saat membuka mata. Dandelion yang ada di depan matanya tidak hanya satu melainkan banyak. Dan ketika dia menegakkan badannya. Rupanya dia berada di tengah-tengah hamparan dandelion.

"Kenapa aku bisa di sini?" herannya.

Belum sempat dia mengingat kejadian sebelumnya, terdengar suara seseorang yang memanggil namanya.

"Rianaa!"

Suara itu terdengar lembut dan lantang. Terdengar sangat penuh kasih sayang.

"Rianaaa!" Kali ini panggilannya lebih panjang, tapi tetap terdengar lembut.

Si pemilik nama mengedarkan pandangan sampai dia mendapati sosok wanita berpakaian putih di bawah pohon di atas bukit kecil. Jarak yang jauh membuatnya tidak bisa melihat wajah wanita itu.

"Iya, di sini anakku." Wanita itu melambai.

Semakin didengar, suaranya semakin familiar di telinga Riana. Namun, siapa? Sampai-sampai hatinya merasakan sesak. Entah karena apa.

"Ayo, bangun Riana, kemari!" Sekarang wanita itu menggerakkan telapak tangannya naik turun.

Terpanggil, Riana berdiri. Dia melangkahkan kaki mendekati wanita itu. Dengan pandangan terus menatap wanita itu, kakinya tidak berhenti melangkah.

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah ....

Lima langkah, enam langkah ....

Sepuluh langkah ....

Tiba-tiba ada guncangan dahsyat datang, membuat Riana refleks berjongkok agar tidak terjatuh.

"Kebo banget sih lo?"

Riana membuka mata lebar-lebar. Di depannya bukan lagi dandelion, bukan juga wanita berpakaian putih. Yang ada hanyalah Dinda yang memasang wajah kesal.

"Jam berapa ini, Din?" tanya Riana dengan suara serak khas orang bangun tidur. Rupanya tadi hanya mimpi. Nyatanya, dia tertidur di rumahnya Dinda. Teman kuliahnya yang telah meracuni otaknya dengan ide gila. Dan Riana lebih gila lagi, karena menuruti ide Dinda sampai-sampai dia selalu mendatangi Dinda selama dua hari ini.

"Jam makan udah lewat, jam delapan lewat."

Riana hanya mengangguk dengan wajah bangun tidurnya.

"Tadi Naufal nelfon di HP lo, trus gue angkat. Katanya dia mungkin telat jemput karna motornya mogok."

"Yaelah, terus kenapa lo bangunin gue sih?" kesal Riana. Dia kesal karena seharusnya sudah dekat dengan posisi wanita di dalam mimpinya dan akan bisa melihat wajah wanita itu, tapi malah terbangun. Buyar sudah mimpinya.

"Suami lo kan mau jemput. Ya lo harus siap-siap lah. Di mana tadi lo taruh blazer lo? Sepatu lo juga di mana? Sabun cici muka lo juga tuh ada di kamar mandi gue."

"Lo kayak emak-emak kalau kayak gini," ledek Riana.

"Lo kali yang bakal jadi emak-emak."

"Mungkin," jawab Riana seraya berdiri menuju kamar Dinda. Di sana dia menggantungkan blazernya. 

Dinda mengekor.

"Kenapa sih lo gak jujur aja sekarang? Gak mungkin lo bohongi dia terus. Dia pasti bakal nyadar. Apalagi lo sekarang malah di rumah gue. Mau sampe kapan? Seminggu? Bakal curiga lah dia. Lagian, gue gak selalu dapat job siang ya. Besok gue ada job malam."

DopamineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang