34 - Satu Kesedihan

2.3K 251 8
                                    

Tampaklah Adelio yang baru saja menghentikan langkahnya. Sambil membuang napas pelan, ia pun mengetuk pintu kamar ayahnya. Suara khas berat itu pun menyambutnya dari dalam, membuat cowok berkacamata tersebut menyentuh gagang pintu dengan perasaan kalut.

"Sudah mundur dari jabatan?" tanya sang ayah langsung ke inti begitu Adelio berdiri di sisi tempat tidur dan menatapnya tanpa ekspresi.

"Hm, iya," jawab Adelio datar. Berusaha keras menahan diri agar tidak termakan emosi saat melihat senyum kepuasan dari pria di depannya ini.

"Bagus. Kalau begitu Papa tinggal mengurus surat pindahmu besok."

Kalimat itu membuat Adelio tersentak. Membulatkan mata dengan jantung yang seolah berhenti berdetak. Lalu ia melengos, lantas tersenyum miris. Di dalam hati sudah sibuk menertawakan diri sendiri dan mempertanyakan nasibnya yang begitu buruk.

Padahal, Adelio hanya ingin bertemu dengan Hana. Tapi kenapa jadi runyam begini. Apa memang pindah ke SMA Garuda adalah keputusan yang salah? Meskipun salah, Adelio tidak akan pernah menyesal. Kenapa? Karena kini ia tahu alasan gadis yang disukainya itu tidak membalas perasaannya sampai hari ini dan hal itulah yang membuat Adelio merasa sedikit lega.

Tapi, bukan berarti Adelio tidak merasa sedih dengan keputusan ayahnya ini. Dan bukannya tidak bisa menolak atau memberontak, ini hanyalah masalah komitmen dan janji seorang laki-laki. Di mana, dirinya harus mematuhi kesepakatan yang terjadi di antara dirinya dan sang ayah. Ini seperti utang dan Adelio tidak bisa melanggarnya begitu saja di saat ayahnya sudah menepatinya bukan?

Adelio menelan salivanya dengan susah payah. "Pa ... apa Adelio gak bisa minta perpanjangan waktu sampai hari jumat?" Adelio mencoba memohon pada ayahnya, berharap penuh agar ayahnya mau mengerti. "Ada satu hal yang Adelio pengen lakuin sebelum ninggalin semua orang yang Adelio sayang. Setelah itu, Adelio gak akan minta apa-apa lagi."

"Baiklah. Hanya sampai hari jumat," ucap ayahnya menyetujui. "Setelah itu tidak ada lagi negosiasi karena calon ibu tiri kamu sudah menunggu Papa di sana."

Adelio mengeraskan rahang. Merasa jijik pada setiap kalimat dan tingkah pria di depannya ini. Bagaimana mungkin ia melakukan itu padahal mamanya sudah melahirkan Adelio dan Anara di dunia ini. Andai saja sang putra tidak ingat siapa pria di depannya ini, mungkin ia sudah memukulnya saat mengetahui perselingkuhan itu dari ibunya.

"Makasih, Pa."

Adelio pun mengundurkan diri saat ayahnya menjawab dengan anggukan angkuh. Kemudian Adelio berjalan menaiki tangga, menuju ke kamarnya. Tapi saat membuka pintu kamar, Adelio terkejut bukan main begitu mendapati sosok Anara yang sudah duduk di sisi tempat tidur sambil memasang tatapan nyalang padanya.

Adelio hampir tidak bisa bernapas saat melihat penampilan adiknya yang begitu kacau. Rambutnya yang biasanya dicepol asal kini tergerai berantakan. Bahkan poni ratanya pun terlihat acak-acakan dengan mata yang memerah akibat menangis. Terlebih kelopaknya masih basah di sana, membuat Adelio menggerakkan tangan untuk menyentuh kedua bahu kecil sang adik, tapi langsung ditepis.

"Jangan sentuh gue," tampik Anara dengan suara bergetar. Melengos pendek sembari menyembunyikan air matanya yang kembali menetes.

"Ra, maafin gue. Jangan kayak gini," ucap Adelio. Berusaha tetap tenang, walau di dalam hati sudah menangis sejadi-jadinya karena telah membuat adiknya bersedih sampai seperti ini.

Ketos Vs Sekretaris OSIS [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang