20 - Saatnya Menyerah?

3.6K 332 9
                                    

Dengan langkah yang terburu-buru, gadis berambut dicepol asal itu membuka pagar hitam rumahnya. Segera berlari masuk ke dalam usai menguncinya kembali dan melepaskan sandal tepat di depan pintu masuk rumah.

"Abanggggg!!!"

Suara Anara menggema saat memasuki rumah, membuat mbak Lala--asisten rumah tangga mereka jadi tersentak sesaat. Menoleh heran pada anak majikannya yang sudah berlari-lari seperti orang kesetanan. Tanpa sadar, wanita yang sudah menginjak kepala tiga itu pun tersenyum samar dibuatnya.

"Ya ampun, Neng. Jangan lari-lari, nanti bisa jatuh," tegur mbak Lala, sementara Anara yang hendak masuk ke kamar Adelio jadi menoleh padanya. Kemudian memberi kantong kresek berisi sop ubi yang ia beli tadi di luar gapura perumahan bougenville.

Warung itu jaraknya tidak terlalu jauh dari persimpangan dekat mall besar yang ada di sana, sehingga gadis ini tidak ingin merepotkan mbak Lala. Meski wanita itu berkali-kali mengajukan diri, tapi Anara justru lebih memilih pergi sendiri untuk membelinya.

"Tolong bawain ke dapur ya, Mbak!" serunya yang langsung beranjak,  membuka pintu kamar Adelio dengan heboh.

"Abanggg!!" pekik Anara yang langsung melompat ke atas tempat tidur Adelio. "Lo pasti bakalan kaget pas tau gue nemu siapa di jalan tadi," sambungnya terlihat menggebu-gebu.

Garis wajah gadis itu jelas menunjukkan kebahagiaan. Tidak merasa sungkan saat membuat kegaduhan hari ini karena kondisi rumah yang sepi. Kedua orang tua mereka memang sejak kemarin tidak ada di rumah. Anara sedih, walau kini ia jadi senang karena bertemu seseorang ketika kembali dari warung makan bu Ijah.

Sedangkan Adelio yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaan OSISnya jadi menghela napas lelah. Seakan sudah mengerti dengan kehebohan adiknya ini.

"Sekarang cogan mana lagi?" tanya Adelio acuh tak acuh dan kontan mendapatkan lemparan bantal ke kepalanya. Adelio sedikit mengaduh di sana.

"Bukan, ih. Gue lagi serius loh ini," protes Anara yang mengernyit saat merasakan handphone-nya bergetar di saku piyama hitamnya.

"Serah," balas Adelio yang beralih membuka laptop untuk mengecek beberapa dokumen OSIS tahun lalu, sedangkan Anara sudah mendecak di sana sambil melempar handphone miliknya ke atas tumpukan bantal.

"Balik kamar lo sana," usir Adelio, masih fokus dengan kegiatannya.

"Heleh, gak usah sok sibuk lo. Baru juga ketua OSIS, belum jadi Presiden--SANTAI WEH," cibir Anara yang berubah dongkol karena kakaknya itu malah sengaja membolak-balik kertas dengan suara yang penuh penekanan.

"Ck, urusin noh monyet lo," sembur Adelio yang baru saja melirik layar handphone dan mendapati chat teratas whatsApp-nya bukan dari orang yang ia harapkan.

"Kandangin lah. Capek gue liat dia nyepam mulu. Chat gue yang penting jadi tenggelam kan. Tukang sampah emang," sarkas Adelio sebal. Meraih dan melempar handphone-nya ke atas tumpukan buku paket di sisi kanan meja belajarnya.

Anara jadi mendelik. Baru kali ini melihat kakaknya sejengkel itu. Kan jadi penasaran. "Santai dong, abang. Calm down, oke?"

Adelio hanya mendengkus. Kemudian mendecak karena Anara diam saja di sana. Padahal sudah disuruh keluar dari tadi.

"Mau ngomong apa sih? Bisa to the point gak? Lagi cosplay siput lo?" sinisnya bertubi-tubi.

Ketos Vs Sekretaris OSIS [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang