Hanya ada bulan dan bintang yang menemani kesunyian ini. Di bawah langit malam dan dinginnya udara yang menerpa kulit, kedua remaja itu duduk lesehan di depan pagar rumah Hana.
Setelah beberapa saat lalu terjadi melodrama, kini Hana duduk membisu dengan pikiran yang menerawang entah ke mana. Adelio memerhatikan itu, lantas menghela napas begitu berat.
"Harusnya gue tetap diam," ucapnya. Melipat kaki dan memeluknya dengan dagu bertumpu pada lutut. Menyesal karena sudah memberi tau alasannya melepaskan jabatan di OSIS.
"Kenapa?" tanya Hana parau, menoleh pada Adelio yang menatapnya sendu.
"Pada akhirnya lo sedih gara-gara gue," jawab Adelio pelan.
"Berhenti nyalahin diri lo. Gue cuma kangen sama Abang gue. Gak usah kepedean."
Garis wajah Adelio berubah. "Bukannya Kak Ragel ada di rumah?" tanya Adelio yang ingat balasan chat Hana yang mengatakan kalau Ragel dan pak Surya sudah tidur.
"Ah, itu ...." Hana tidak tau harus memberikan alasan apa. Apalagi cowok yang duduk di sebelahnya ini sudah menatapnya penuh selidik. "gue--"
"Lo bohong," kata Adelio tiba-tiba, membuat Hana meruntuk karena tertangkap basa. "Kenapa lo sampe bohongin gue, Han?" tanyanya, seolah menuntut sesuatu.
Hana menghela napas. "Ya, mau gimana lagi. Gue butuh alibi biar--" Hana mendadak menghentikan kalimatnya, membuat Adelio mengerutkan alis.
"Biar?"
"Pikir sendiri deh!"
"Lah, kok pake urat? Gue nanya baik-baik loh."
"Elo sih, ah."
Adelio tersenyum tipis. "Padahal tadi ngomongnya sampe nangis-nangis gitu di depan gue."
"Mirror, ya!" balas Hana merasa jengkel kini. Membuat Adelio mengatupkan bibirnya, merasa malu sendiri karena sikapnya tadi. Walau dalam hati sebenarnya ia merasa hangat karena detakan jantung Hana kala itu. Entah detakannya dipicu karena apa, yang jelas Adelio senang saja kalau mengingatnya.
"Makan tuh nasgor," titah Hana sambil menyodorkan kotak nasi gorengnya pada Adelio.
"Itu kan gue beli buat lo, Han. Kok dikasih ke gue lagi sih?" tanya Adelio terdengar tidak terima. Hana tidak tau saja bagaimana perjuangannya saat membeli nasi goreng ini. Dia harus keliling kota metropolitan karena warung tempatnya berlangganan kebetulan sedang tutup.
"Gue udah makan kok tadi," jawab Hana jujur. "Itu buat lo aja. Kayaknya lo belum makan sejak pulang sekolah," sambungnya yang memang sejak awal memerhatikan wajah pucat cowok itu.
Adelio diam beberapa saat. Perhatian Hana membuatnya ingin memeluk gadis itu, tapi ia malah mendecak sebal. "Sia-sia dong perjuangan gue. Mana bensin di motor gue sampe sekarat lagi. Eh, malah gak dimakan tuh nasgor. Satu suapan pun kagak ada," ucapnya yang sekuat tenaga tidak tersenyum karena ekspresi Hana yang kesal terlihat menggemaskan.
"Iya, iya! Gue coba nih, tapi lo harus makan, ya?" ujar Hana, lalu mengacungkan kelingkingnya, meminta Adelio untuk berjanji.
"Ya."
Hana meraih satu suapan dan menatap Adelio. "Liat, gue makan nih. Rekam biar lo puas," ucapnya sinis, lantas memasukkan nasi goreng itu ke dalam mulut dan mengunyahnya. Adelio pun tersenyum puas melihatnya.
"Udah gue makan kan?" kata Hana sambil mengunyah. Tangannya meletakkan sendok itu kembali ke dalam kotak nasi goreng. "Sesuai janji. Sekarang lo makan, sementara gue masuk ke dalam ambilin lo air."
Setelah Adelio mengangguk, Hana segera berlari ke dalam rumahnya. Botol air yang biasa ia bawa ke sekolah pun diisinya dengan air mineral sampai penuh. Saat hendak keluar rumah, Hana menoleh ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketos Vs Sekretaris OSIS [SELESAI]
Teen Fiction♡♡♡ Rival, tapi kok jadi begini .... Sudah jadi rahasia umum di SMA Unggulan Bumi Khatulistiwa bahwa Hana Adisty Permata selalu memusuhi Adelio Bintang Antares. Alasannya cukup sederhana, karena Adelio lebih unggul akademik dibandingkan dirinya, jug...