2. Waktu untuk apa?

3.6K 344 32
                                    

Percaya atau tidak rumahnya memiliki 3 lantai. Dan hanya diisi oleh 7 orang. Bang Jay dan Jonny hanya di rumah dari jam 12 malam sampai jam 8 pagi. Sisanya lebih banyak dihabiskan di kafe.

"Bang, ini rumah segede gini sehari cuma buat numpang tidur aja?" Aku berkomentar takjub sambil berdiri di balkon atas lantai dua. Mataku memandang sekeliling betapa luasnya halaman rumah itu, serta suara air terjun mini di salah satu sudut taman membuat tambah asri.

Tidak ada yang menyahuti ucapanku membuatku menoleh. Tidak ada siapa-siapa di balkon ini bahkan ruangan TV yang tadi menjadi tempatku dan Kelvin nongkrong sudah lenggang.

Eh, astaga mereka pada pergi ke mana? Tadi aku sama Kelvin dan Bang Jay di lantai 1 naik bersama ke lantai 2. Tadi Kelvin sempat lumayan sibuk bantuin Bang Jay di bawah sepertinya menyusul Bang Jay turun lagi, aku yang iseng keliling wisata rumah Bang Jay yang keren ini. Semoga saja tak akan ada barang hilang karena aku iseng banget keliling di sini.

Aku dan Kelvin, kami berdua sedang menjadi tamu. Keberadaan kami ke sini atas perintah Bunda, yang mengenal Tante Rara sejak saat Jonny dan Kelvin SMA dulu. Mereka hanya komunikasi lewat pesan. Bunda mengirim kami untuk memberikan parsel pada keluarga ini, yang sering memberikanku tempat buat menghibur diri alias keberadaan Tiramissyou sangat berarti banget buat kami.

Mengingat kata berarti, aku jadi berpikiran satu hal. Tante Emma. Aku sudah tidak menemuinya lagi bahkan sejak bulan lalu lalu. Saat beberapa hari setelah hari raya, aku pergi berkunjung ke rumah Yudha. Saat di sana Bunda menelepon bahwa ada Rifando dan keluarganya datang. Aku tidak bisa meninggalkan rumah Yudha begitu saja. Saat aku sampai di rumah sore hari keluarga Rifando sudah pergi. Mungkin itu keberuntunganku yang bisa sedikit terhindar dari Tante Emma. Aku merasa bersalah menghindarinya. Pelarianku semakin parah setelah kejadian berantem hebat sama Rifando di Kedai Gelato.

"Kok nggak ada yang ngajak gue? Baru tadi pagi Kelvin bilang dia mau ke rumah kalian." Ada suara Rifando muncul dari arah tangga. Terlihat pria itu baru naik bersama dengan Bang Jay, Jonny, dan Kelvin.

"Masih untung gue inget buat cerita sama lo." Kelvin dengan ketusnya balas bersuara.

"Iya sori, gue mana tau lo pengen juga ke sini. Lagian Andah sama Kelvin ke sini karena disuruh Bundanya tuh bawain parsel," jawab Bang Jay.

"Ah, parah banget kalian! Kalian begitu ya sekarang? Gue sama Andah lagi selek ribut berantakan gini. Jangan bikin kubu dan membuat gue jadi merasa tersisihkan gini dong. Nggak ada yang dukung gue!" Rifando protes.

Aduh, sepertinya mereka bakal ribut berdebat di sana. Aku duduk di kursi balkon menahan deru napas yang mulai memberat.

"Maksud lo apaan, Ndo? Kita ini pihak netral kok. Kita enggak ada yang marah sama lo. Bagaimanapun tingkah ajaib lo itu yang ngeselin, kita menghargai urusan pribadi lo," jawab Kelvin.

"Kenapa nggak bilang mau ketemu Andah dari kemarin? Nggak ada yang bisa bantuin supaya kita kayak dulu lagi?" tanya Rifando membuat hening menjadi tercipta. "Gue susah buat ngajak dia ngomong menyelesaikan ini semua, apalagi ketemu. Kalo nggak diselesaikan gue sama dia begini terus marahan."

"Kayak dulu lagi gimana? Lo nggak ngerti ya sama perasaan orang lain?" seru Kelvin kesal. "Awalnya gue wajarin lo usaha masih memeperbaiki diri. Cuma gue ngeliat dia makin marah-marah emosi mulu kesel sama lo. Udahlah, lo jangan maksa. Gue nggak bantuin karena ini urusan kalian. Lagian gue bisa apa sih? Gue nggak akan gila, nggak punya hati ya, kalo maksa Andah baikan sama lo."

"Lo bantu buka pikiran Andah lah, lo lebih dewasa." Suara Rifando menyahuti Kelvin membuatku mendesis.

"Andah udah dewasa buat dinasehatin," cetus Bang Jay. "Bener kata Kelvin, lo maksa banget sama dia!"

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang