Saat ini aku sedang bersama dengan Sasa di kursi pinggiran koridor gedung A Fakultas Hukum. Aku melihat dia masih asyik nonton drama dari negeri Cina yang sudah sering dibahas berkali-kali katanya seru banget. Aku tak peduli judulnya saja sudah aku lupakan.
“Woi Ndah,” panggil Sasa sambil mengangkat tatapan menjadi kepadaku. Tangannya sudah menjauhkan ponsel itu dari pandangannya.
“Apaan?”
“Beneran si Rifando yang bilang ngadu ke Mark kalo kamu juga kena sama tuh dosen? Dia minta bantuan biar masalahmu diproses juga kan?”
Aku sudah bercerita pada cewek itu beberapa kali membahasnya mengapa Sasa menanyakan lagi untuk membahasnya. “Iya, kenapa nanya lagi? Nggak jelas ceritanya? Kan udah selesai kita udah mediasi sama Ketua Prodi. Oke??”
“Jelas di mataku, tapi hal ini nggak jelas buatmu, Ndah?”
“Hm, apanya yang jelas-jelas itu, hah?” Aku mendadak jadi gerah, bukan hanya teriknya matahari di siang hari ini. Aku sepertinya haus butuh minuman segar untuk melegakan tenggorokan.
“Rifando. Nggak mau baikan sama dia?”
“Kita baik-baik aja,” tandasku cepat.
“Tapi nggak kayak dulu!” seru Sasa cepat sambil melepas earphone. “Ya emang sih aku lihat kemarin kalian ngerayain ultahmu, tapi aku ngerasanya kalian masih kaku.”
Aku masih bisa ngobrol sama Rifando, tidak sebenci dulu saat dia baru pacaran dengan Nilla. Aku tetap menjawab obrolan dengan santai, tapi tetap akan berusaha menghindar selagi bisa. Aku tidak mau terlalu dekat larut dalam obrolan dengan cowok itu. Karena Rifando itu candu, kayak obat penenang. Aku berpikir kita baik-baik saja dengan hubungan ini yang begini. Berteman biasa.
“Ya ... mau kayak dulu lagi? Aku bakal dicari kalo dia butuh doang lalu nggak bisa jadi pilihannya, itu yang kamu mau, Sa?” Aku melirik Sasa yang diam saja.
Perempuan itu memutar bola matanya lalu menaikturunkan alisnya lucu. Ingin rasanya aku mencubit alisnya yang menyebalkan itu.
“Heh, itu alis aku tarik terus jepret nih!” seruku mengancam sambil berusaha menyentuh alis Sasa.
“Jangan pegang alis aku kalo tanganmu nggak mau kena pensil alis,” cetusnya lalu tertawa. “Alisku adalah asetku.”
“Huu, tebel sih pensilnya. Dasar alis mulu.”
“Kembali ke topik. Bukan gitu maksudku, Rifando kayak masih usaha nggak sih buat baikan sama kamu gitu?”
Aku mendengkus. “Dia kalo baikin orang emang gitu, kalo bikin aku ngambek juga bakal berusaha terus baik-baikin. Tapi, ini bukan sepele lagi. Aku nggak mau mudah dibaikin lagi, tapi setelah udah baikan dia akan pergi sama cewek baru yang lebih asoy.”
“Romantis dong? Aku punya temen, tuh si Ardan kalo aku ngambek malah dibiarin aja. Eh, ya tapi nanti dia bakal tetep nanyain sih. Emang nggak aneh Ndah, tiba-tiba hidupmu jadi gini?”
“Gini gimana?”
“Sepi, biasanya kan kalian bikin gemes dan lucu,” ucap Sasa nyengir menggoda.
“Latihan kali Sa, kan nanti kita bakal pisah juga. Aku sama dia nggak bakal sedeket itu lagi, karena jalanin hidup masing-masing sama pasangan kita nanti. Itulah garis selesai proses move on saat udah biasa aja. Ya, biarin sekarang masih kaku, nanti juga udah lama bisa melar sampe karetnya putus kayak kancut.”
Aku tidak mau berharap apa-apa, berharap agar aku bisa bersama Rifando tidak berani lagi. Aku pernah berharap di tengah-tengah kesempatan yang ada namun cowok itu tidak pernah menjadi bersama denganku. Berkali-kali aku pernah berharap, walau menyakitkan aku mencoba berharap siapa tahu aku beruntung. Kali ini aku ingin menghadapinya dengan biasa saja. Tidak usah memikirkan bagaimana nantinya, ya tujuanku menjauh agar perasaan ini cepat menghilang. Aku akan berusaha bersikap biasa saja sama Rifando.

KAMU SEDANG MEMBACA
Terang
Любовные романыRated 18+ Saat dia mengatakan, "Kamu sakit hati di kisahmu. Ya memangnya aku enggak?" Saat itulah sebenarnya aku tidak tahu apa-apa dan larut dalam prasangka bahwa dia sudah dan selalu bahagia. Copyright©2021