Sakitku tak kunjung sembuh. Bagaimana bisa sembuh dengan cepat kalau setibanya di rumah semalam jam 11. Mampir makan pecel ayam dan membelah angin Jakarta Selatan dahulu tanpa ada rasa beban atau takut dikejar tukang begal. Hari ini tak bisa masuk kuliah, sudah mau jam 11 siang yang tersisa di rumah hanya aku, Kelvin, yang baru mau berangkat ke kampus, Encis, dan Achel para anak-anak bulu.
“Hujannya udah reda walau masih mendung, aku mau cabut sekarang ke kampus. Fando bilang mau ke sini tuh, masih di jalanan kali. Kamu bangun udah jangan tidur terus. Kalo dibawa banyak tidur jadi pusing loh, Ndah,” ucap Kelvin di pintu kamarku sudah siap rapi dan semerbak parfumnya memenuhi sampai ke dalam kamarku.
Sumpah, Kelvin memang menyebalkan banget ganggu aku yang sukanya tiduran tanpa beban. Aku kan lagi lesu dan sakit kepala. Tubuhku juga panas tetapi disuruh jangan tiduran. Dia tak berbakat jadi perawat.
“Nah, bunyi motor Fando kebetulan dateng. Bangun! Bangun! Kamu masih bau minyak angin tuh bikin orang yang hirup aromanya jadi ikutan meriang!”
“Hmmh, udah sana turun! Hussssh!!”
Rumahku tak kosong di lantai bawah sudah ada Rifando yang datang. Aku memejamkan mata yang sulit untuk dibuka. Entah sudah berapa lama aku terpengaruh dengan sakit yang melemaskan otot, baru sadar saat ada yang datang. Ada aroma parfum lelaki menusuk hidungku. Tanpa ada suara apa-apa ada gerakan tangan seseorang meletakkan gelas di nakas.
“Eh, kamu Doyi!! Ngagetin aja sih!” Seketika mataku terbuka lebar dan membuang selimut di ujung kaki. Aku bangun dari posisi rebahanku sementara Rifando lagi bergerak menuju meja belajarku yang berantakan banyak bungkusan.
“Kamu begadang ngerjain tugas?” tanya Rifando menoleh setelah melihat di meja belajar banyak buku-buku dengan selipan sticky notes dan laptop di luar tasnya masih tersambung dengan charger.
“Besok ada deadline tugas. Ssst! Jangan geratakan, udah kamu diem aja!” seruku melarang melihat gelagat Rifando yang mau membuka-buka bukuku.
“Aku bawain bubur kacang ijo, mau dimakan sekarang nggak?”
“Ya udah ayo kita ke bawah.” Aku turun dari kasur sementara cowok itu masih melihat-lihat di dekat meja belajarku.
“Udah selesai tugasmu? Mau aku bantuin nggak?” tanyanya.
“Kamu mau bantuin?”
🌻🌻🌻
Di ruang TV lantai bawah di sanalah kami menjadi duduk bersama. Aku memakan bubur bawaannya sedangkan Rifando sudah membuka laptop dan membaca buku kuliahku. Hukum Asuransi.
“Tinggal diketik aja kok.” Suruhku tanpa beban. Padahal Rifando yang tadi menawarkan jasa, aku tak enak hati awalnya. Sekarang aku yang menyuruhnya dengan tak tahu diri.
“Aku kira jawabannya cuma separagraf.” Rifando yang duduk di lantai mendongak padaku yang bagai duduk di singgasana kursi seorang tuan putri raja.
“Ya udah, nggak usah dipaksa. Masih ada waktu kok sampe besok,” cetusku yang tak mempermasalahkan. Baru makan dua suap bubur sudah kenyang. Aku meletakannya di meja lalu diam saja menatap layar TV.
“Ini aku ketik 10 menit juga selesai, sans aja bos. Kok udah makannya, kamu kenyang?” tanya Rifando mengerutkan kening.
“Pelan-pelan dulu, perutku penuh kayak keisi angin. Ya udah, ketik buruan semenit itu berharga.” Suruhku gemas dengan nada penuh perintah. Memang tidak tahu diri sekali manusia satu ini. Andara.
Rifando mendongak sambil mendecak. Dia mulai mengeluarkan keahlian mengetik cepatnya yang membuatku kagum, karena meski dengan pandangan pada buku, tangannya sangat lincah mengetik di keyboard seperti sudah hapal dengan tata letak tombolnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Terang
RomanceRated 18+ Saat dia mengatakan, "Kamu sakit hati di kisahmu. Ya memangnya aku enggak?" Saat itulah sebenarnya aku tidak tahu apa-apa dan larut dalam prasangka bahwa dia sudah dan selalu bahagia. Copyright©2021