Ini rencana siapa sebenarnya? Mengapa Rifando mendapat dukungan penuh dari Bunda, Ayah, Kelvin, Rafel, bahkan semesta? Hal ini sangat langka membuatku syok berat ingin menarik tantanganku pada Rifando. Aku menyesal menantang cowok itu, sebab aku lagi kena sial. Semua terjadi sangat berbalikan dengan yang aku harapkan. Aku kira akan mempersulit keinginan Rifando yang ingin pergi bersamaku dengan melibatkan Bunda dan Kelvin. Mereka begitu percaya dengan Rifando mengizinkan aku pergi berdua dengannya. Padahal aku sedang berusaha tutup mata pada usaha cowok itu. Sore itu aku yakin hanya terbawa suasana saja memberikan janji manis. Lain harinya aku menyesal akan membuka peluang yang besar padanya.
Beberapa hari lalu Rifando datang lagi bicara langsung ke Bunda ingin mengajakku pergi keluar kota. Aku mulanya mengira cowok itu bakal didamprat habis-habisan. Namun, seperti aku bilang aku sedang kena sial. Bunda mengizinkan Rifando mengajak pergi dengan berbagai pesan.
Kenapa Bunda mudah percaya sama Rifando sih?
Padahal aku curiga nih cowok bakal main-main sama aku lagi. Ucapanku yang menantangnya tidak bisa ditarik lagi setelah debat panjang dengan Rifando. Tidak ada pilihan lain untuk menuruti ajakannya yang ingin liburan.
Biar aku nggak suntuk marah-marah mulu lagi, katanya. Aku curiga, apa selama ini aku sedang punya darah tinggi tanpa disadari ya? Habisnya aku sudah tak bisa semanis dulu pada Rifando.
Kami baru tiba di Villa pesanannya. Aku tak peduli pada Rifando yang sedang beres-beres barang memindahkan dari bagasi mobil ke lantai bawah Villa. Aku membawa tasku mendahuluinya masuk ke dalam villa yang di lantai atas melalui tangga luar. Aku sok sibuk mengabaikan Rifando yang juga membawa tasnya sambil memandangiku heran.
Kami sempat rebutan kamar gara-gara aku sudah memilih salah satu kamar, sudah berleha-leha tetapi aku tersadar. Takut dengan lukisan besar di kamar itu. Aku keluar lagi dan masuk ke kamar yang sudah ada Rifando lagi duduk sambil memijat kepala. Aku meminta kamarnya. Ya awalnya ribut, tapi Rifando mengalah juga.
"Daripada rebutan kamar ini mending kita bareng-bareng di sini," selorohnya tanpa beban meminta untuk dicekik.
"Udah kamu ke sana, aku milih di sini!" Aku yang sedang menyeramkan ini langsung dikasih kamar itu tanpa ribut panjang.
Setelah mendapatkan kamar yang jendelanya menghadap ke arah pantai, ya sudah aku puas kamarnya tidak ada hawa seram. Aku buru-buru keluar setelah tahu bahwa pantai di depan, bisa membuatku bisa terhibur. Baru keluar dari kamar ada seorang perempuan separuh baya melemparkan senyuman.
"Selamat datang ya, Mbak Andara. Saya Ibu Ayu, yang jaga villa ini sama suami saya. Nanti saya yang masak untuk kalian. Mbak istirahat aja," kata Ibu Ayu.
"Makasih ya, Ibu. Eng," jawabku sambil mengerjapkan mata melirik ke kanan-kiri.
"Kalau Villa nggak digunakan kami tinggal di bawah, tapi kalo ada tamu kami menempati di rumah sebelah Mbak," kata perempuan itu membuatku tersentak lalu ngangguk sok paham.
Ya, aku lega tidak benar-benar hanya berdua dengan Rifando di villa. Mendengarnya yang akan masak untuk makan kami membuatku lega. Aku tidak akan masak mie instan buat itu cowok.
"Aku mau ke depan dulu ya, Bu. Permisi."
"Iya Mbak," jawab Bu Ayu senyum kecil.
Aku sudah kabur pergi ke pinggiran pantai yang masih berada dalam area villa. Pinggiran pantai itu hanya selebar 3 meter dan dikelilingi pagar dari batu-batuan. Di kanan-kiri bibir pantai berpasir itu bisa digunakan sebagai tempat duduk. Aku menggulung celana dan berdiri di pinggiran menatap lurus ke hamparan air yang tak ada ujungnya itu. Aku menginjak pasir pantai dengan kegelian saat tumitku masuk ke dalamnya membuat punggung kakiku terkena dengan pasir-pasir yang menenggelamkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terang
RomanceRated 18+ Saat dia mengatakan, "Kamu sakit hati di kisahmu. Ya memangnya aku enggak?" Saat itulah sebenarnya aku tidak tahu apa-apa dan larut dalam prasangka bahwa dia sudah dan selalu bahagia. Copyright©2021