Sudah menunjukkan pukul 18:00 saat tiba di teras rumah Rifando. Rumahnya sepi sekali dengan lampu di ruang tamunya mati, gelap, membuatku menjadi merinding ngeri. Pintu pagarnya tadi tidak dikunci gembok sehingga aku bisa masuk dan menunggu pintu rumahnya dibuka.
"Doy! Ini aku Andah! Assalam'mu alaikum!"
Aku mengeluarkan ponsel untuk menghubunginya, memang tidak bilang kalau mau ke rumahnya. Bunda yang katanya sudah kirim pesan dan telepon tapi tidak aktif. Aku mengirimkan banyak pesan ke nomornya agar cepat-cepat pemuda itu membukakan pintu rumahnya.
Sejujurnya aku lagi merinding berdiri di luar rumahnya yang terlihat horor ini. Mana sudah mendung gelap kayak mau hujan deras. Aku mohon secepatnya Rifando keluar agar bisa langsung cabut pulang lagi, langit di angkasa memiliki gelap yang aneh berupa awan-awan hitam itu menandakan mau hujan. Aku tidak mau kehujanan di jalanan kalau telat sedikit saja. Cahaya lalu disertai suara petir itu menggelegar, getarannya di tanah merambat terasa sampai tumit, membuatku menempel ke pintu sambil melihat ke langit yang semakin menyeramkan.
Pintu itu terbuka membuat bahuku langsung bersenggolan dengan sesuatu yang rata dan keras berlapis kain hitam. Aku mendongak mendapati orang itu sedang mematung juga. Rifando tampaknya sedang kacau. Pemuda itu bibirnya pucat pasi, mengering sampai pecah-pecah, dan di sekitaran matanya menghitam.
"Hai," sapaku mengerjapkan matanya. "Kamu tadi lagi tidur ya? Maaf ganggu, ini ada sesuatu dari Bunda. Kamu kan suka sama pepes tahu dan ikan sih." Aku menyerahkan plastik yang berisikan beberapa buah pepes dengan bungkusan dedaunan pisang.
Rifando menerimanya dengan bibir masih terkatup rapat. Aku menjadi takut dia sedang kenapa-napa karena sangat aneh.
"Aku pulang ya, maaf ganggu waktu istirahatmu. Keburu hujan turun aku mau langsung pulang. Duluan-"
Begitu berbalik sambil mengambil hape di saku celana. Dari langit menurunkan hujan deras yang tak bisa ditahan-tahan lagi. Aku mendecak sebal karena tidak bisa pulang.
"Makasih ya, sampein ke Bunda. Ayo, nunggu di dalem aja. Sambil nunggu jam Maghrib lewat dulu." Suara serak Rifando membuatku menoleh. Di pintu Rifando sedang menatapku tajam.
"Apa aku pesan taksi ya? Lagi nggak mau nunggu, buru-buru nih." Aku menjawab masam.
"Kamu yakin nggak ada yang mau diomongin dulu?" Rifando bertanya dengan nada lemah.
Perasaanku menjadi semakin kacau saat Rifando masuk ke dalam rumahnya tanpa menutup pintu. Aku mengekorinya sambil menghentak kaki kesal. Dia terlihat menekan sakelar lampu di ruang tamu, dalam sedetik sudah terang.
Cahaya kilat yang mentereng membuatku panik takut, langsung menutup pintu tanpa berpikir panjang. Suara gemuruh, lalu getaran itu sampai bisa menggetarkan jendela dan di bawah telapak kaki. Aku menganga ketakutan.
"Ke dalem aja kalo kamu takut geluduk," ujar Rifando berjalan duluan membawa plastiknya.
Aku mengikutinya dan melongo melihat di ruangan keluarganya cahaya hanya berasal dari lampu di meja. Dia menukar lampu dengan menyalakan lampu atas dan mematikan lampu meja. Aku menghempaskan diri ke sofa ditemani keheningan, sebab tak berani menyalakan benda kotak ajaib itu. Bisa membuat TV Rifando meledak kalau tersambar petir.
Cowok itu tadi segera pergi ke dapur dengan plastik bawaan Bunda. Pandanganku agak miris menelisik sekitar. Suasana ini menyakitkan hatiku, di mana dulu ada kebahagiaan, kebersamaan, dan keramaian di sofa ini. Aku menahan agar tidak tertawa perasaan lalu menangis mengingat dulu sangat sering duduk di sini bersama dengan Tante Emma.
"Doy, kamu ngapain sih di belakang? Udah ke sini aja!" panggilku daripada hanyut dalam suasana sepi.
Kalau tidak ada yang bicara, suasana sepi itu sangat menyakitkan. Rifando juga tidak muncul lagi setelah cukup lama masuk ke dapur. Aku pergi menuju dapurnya, pemuda itu terlihat sedang memasak air dengan sebuah teko tergeletak di meja. Yang membuatku menganga ketika melihat Rifando sedang berdiri sambil memegangi meja kompor dan tangan lainnya memijat kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terang
RomansaRated 18+ Saat dia mengatakan, "Kamu sakit hati di kisahmu. Ya memangnya aku enggak?" Saat itulah sebenarnya aku tidak tahu apa-apa dan larut dalam prasangka bahwa dia sudah dan selalu bahagia. Copyright©2021