34. How to deals

1.3K 167 0
                                    

"Ikut yuk? Aku nggak mau sendirian." Aku menyodorkan poster bentuk foto yang dikirimkan oleh Rifando. Tentang acara dari Himpunan Ilkom yang mengadakan Seminar tentang Jobseeker. Kini aku sedang bersama Sasa sedang duduk di kantin sambil minum capcin gocengan.

Sasa menajamkan pandangan melihat ke ponselku. "Bayar berapa dah?"

"Seratus rebu. Mau kagak? Aku males sendirian, tapi Doyi pengen aku ikut. Nih kalo kamu mau ikut aku bakal minta ambilin formulirnya dua dan kita isi. Balikinnya sambil bayar ke Stan seminarnya di lobby gedung B Filkom."

"Pengen sih, aku kan belum punya sertifikat apa-apa," sahut Sasa.

"Beneran? Aku bilang ke Doyi."

Sasa menjawab iya, tapi karena raut wajahnya yang tidak meyakinkan, aku jadi ragu dengan keseriusan orang ini. Sekarang dia lagi buka bungkusan gelas plastik buat ngambilin cincau yang masih tersisa.

"Serius enggak nih? Aku nggak mau sendirian, tapi Doyi neror mulu disuruh ikut. Kelvin juga dorong-dorong biar sertifikatku banyak."

"Iya, ikut, mau deh," jawabnya. Sasa melotot mau marah aku jadi tertawa karena dia mulai ngamuk akibat kebawelanku.

"Nanti aku bilang ke Doyi."

"Iya iya, emang nanti Fando bakal ke sini nganter formulirnya?"

Aku mengangguk pelan.

"Gimana Ndah rasanya udah jadi pacar Rifando?" tanya Sasa memandangiku dengan raut wajah geli. Ingin rasanya aku mengunyel wajahnya yang lagi menggoda, tapi menyebalkan itu.

"Pacar apaan sih, belom jadian tahu." Aku menjelaskan dengan nada penekanan.

Bagaimana mengatakan hubunganku dengannya ya, aku belum menerima cintanya sejak beberapa waktu lalu. Aku sudah menjelaskan bahwa rasa curiga dan takut masih terasa di dalam hatiku. Ini terlalu cepat untukku menerima cintanya setelah apa yang terjadi. Aku masih tidak percaya selama dia belum bisa membuktikan meyakinkanku. Jadi, walau tidak berpacaran kami hanya berteman dulu dan sudah baik-baik saja.

"Kok jadi sok jual mahal?" Sasa dengan gemas menjitak kepalaku dengan kepalan tangannya.

Aku menaboki lengannya yang resek itu. Sepertinya Sasa sedang kesal gemas berkat ucapanku. "Jangan jitakin aku mulu kenapa si!"

"Ya, lagian kamu sok cakep banget sok jual mahal. Aku kira kamu udah jawab dan jadian sejak cerita di Wasaf waktu itu," kata Sasa.

"Belom, aku masih kesel sama dia dan rasanya masih males tahu nggak sih sama dia? Pokoknya aku masih suka kesel gitu."

Sasa mendecak sebal. "Pengen liat perjuangan dia ya? Kurang apa sih dia perjuangannya, udah mutusin ceweknya demi kamu-"

"Ini kok kesannya aku yang PHO ya?" selaku cepat tak suka dengan kata-kata Sasa.

"Ya gimana ya bahasanya, dia intinya udah putusin tuh cewek karena sadar dia cinta dan kehilangan kamu. Romantis, 'kan?"

"Nggak usah ngeromantisin deh. Itu memang hal yang wajar, kan, kalo dia merasa udah kehilangan kepercayaan orang terdekatnya gara-gara satu orang ini. Wajar dong dia melepas seseorang yang merepotkan dan nyebelin."

"Kalo dilihat dari sisi sosialnya nih, bukan kisah cinta, ya wajar sih Rifando milih mutusin Nilla. Gila aja Nilla tukang drama dan ngadu domba. Fando pasti ogah kalo harus terlibat dalam ulah ceweknya. Mana ternyata Nilla toxic banget melarang seorang cowoknya buat mengejar karir. Gila, dia nggak bisa tuh pacaran Satria yang hobinya melalang-buana, udah LDR, dan suka ngelayap ke gunung mana dan hutan. Tck!"

"Makanya, aku nggak percaya dia cinta sama aku!" cetusku sinis. "Dia tuh cuma lagi kesepian, nggak punya pacar. Nanti kalo udah ada gebetan baru juga ngelupain aku, bisa jadi dia bakal ninggalin aku kayak Nilla."

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang