“Lagunya di mana? Tunjukin cepet.” Aku sudah salah tingkah ketahuan bodohnya.
“Kalo suatu saat aku lupa password, aku bakal ke kamu ya buat bukain?” Dia sudah tersenyum usil penuh makna membuat aku belingsatan.
Aku mendesis. Lalu dia menunjukkan di mana letak lagu dalam folder itu. Aku melihat ada beberapa buah lagu di dalam foldernya. Rifando memutarkan lagu pertama yang harus aku dengarkan.
Satu per satu aku mendengarkan lagu itu dan menghayati lirik yang dinyanyikan olehnya.
“Inspirasinya siapa?” tanyaku sambil tertawa geli karena lagunya beberapa menceritakan patah hati.
“Kisah sedihku lah,” jawabnya dengan tawa malu.
“Lagu yang katanya kamu pengen dinyanyiin sama Nindya mana? Yang dari sudut pandang cewek? Kamu misuh-misuh karena Nindya bilang lagunya jelek.”
Rifando mengangkat sudut bibirnya langsung mengarahkan tangannya memencet lagu yang aku katakan.
Sampai saat ini aku belum menemukan tempat di mana seharusnya aku berhenti.
Aku tidak mengasingkan diri, apalagi mengasingkan perasaan.
Dinding yang sudah aku bangun belum runtuh
Tapi entah sampai kapan dinding itu akan bertahan
Apakah kuatnya hati bisa seperti dinding itu?
Aku tak ingin jauh, aku membutuhkanmu, tempat di mana aku merasa nyaman.
Aku berharap kamu adalah tempatku untuk pulang dan menetap sampai di akhir cerita.
Usai mendengarkan lagu itu, aku menjadi merenungi satu hal. Lagu ini yang pernah aku dengarkan di kafe ketika Rifando menyanyikannya sendirian dan saat itu aku jadi penasaran.
Mengapa liriknya tidak asing dan kisahnya mirip seperti pengalaman kisah diriku. Padahal Rifando mana pernah merasakan hal seperti ini kan? Mana pernah Rifando memendam perasaan dan bingung!
“Inspirasi lagu ini siapa? Emang kamu pernah bingung dan berharap ke seseorang sampe begini? Kamu memang pernah nahan perasaan ke seseorang?”
Rifando menggeleng. “Itu kan cerita kamu, makanya aku pengen lagu itu dinyanyiin sama cewek.”
“What? Gimana bisa kamu nulis cerita yang relate sama aku, tapi kan kamu nggak tahu kalo aku suka sama kamu?”
“Tulisan di pesawat kertasmu. Aku pernah nemu di halaman rumahmu. Tulisan jeleknya itu sama kayak kamu, makanya aku yakin itu kertas mainan punya kamu. Aku pernah baca tulisan curhatmu. Aku mengira itu cuma goresan nggak bermakna, cuma iseng. Saat kamu ketahuan suka sama Yudha, aku kira itu adalah untuk Yudha. Ternyata kata-kata itu sungguhan buat seseorang—“
“Iya, itu buat kamu.” Saat itu juga aku menimpali ucapannya.
Setelah aku mengatakan seperti itu Rifando memajukan tubuhnya, seperti terhipnotis aku tidak bisa bergerak sedangkan tubuh pria itu semakin menempel padaku. Wajahku memanas dan perutku sudah sakit kacau gila-gilaan saat baru saja Rifando memberikan kecupan cukup lama di keningku. Aku memejamkan mata dengan napas sudah menjadi berat, masih mencium aroma parfumnya yang membuatku sering rindu dan bergairah. Astaga!!!!
“Andah,”
“Hm?” Aku membuka mata dengan perasaan kacau balau. Begitu mataku terbuka dia masih berada di jarak yang cukup dekat denganku.
“Mau sampe kapan gantungin aku, hmmm?” tanyanya dengan wajah gemas.
Aku menjilati bibir yang mulai kering, itu hanya salah tingkah saja karena kejadian tadi ditambah dengan ucapan Rifando. Aku mengatur oksigen yang masuk ke paru-paru agar aku bisa rileks tenang dalam menjawab pertanyaan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terang
RomanceRated 18+ Saat dia mengatakan, "Kamu sakit hati di kisahmu. Ya memangnya aku enggak?" Saat itulah sebenarnya aku tidak tahu apa-apa dan larut dalam prasangka bahwa dia sudah dan selalu bahagia. Copyright©2021