7. Andai saja...

2.1K 280 33
                                    

Rifando is calling....

Di layar itu sudah ada panggilan tak terjawab sebanyak 5 kali. Aku hanya melirik sekilas pada ponselku. Aku sudah mematikan internet membiarkan panggilan dan pesan darinya tak masuk ke ponselku. Mau ngapain dia? Ngomel-ngomel lagi karena aku ribut sama Nilla sampai membuat gadis itu nangis dan sakit?

Di menjelang malam hari ini aku ingin mengistirahatkan diri daripada memiliki pikiran yang buruk. Namun tidak bisa ditahan pikiranku melayang pada hari Sabtu lalu saat Nilla pergi dari rumah Rifando. Pemuda itu menyusul mengejar Nilla. Saat aku sudah pulang berada di rumah, Rifando mengirimkan pesan mengatakan bahwa Nilla sakitnya kambuh di rumahnya. Cowok itu sangat marah padaku, membuat kekasihnya menangis pergi dari rumahnya, dan sampai sakitnya kambuh seperti itu.

Nilla sakit karena kelakuannya sendiri yang memancing keributan. Mengapa yang disalahkan hanyalah si orang yang sehat? Memangnya orang yang sakit bisa dijadikan alasan untuk diwajarkan ketika bersikap menyulut api? Harus mengalah dengan orang sakit yang memulai pertengkaran?

Dadaku menjadi sesak lagi mengingat beberapa hari lalu, betapa Rifando masih menerorku penasaran menanyakan mengapa Nilla kabur dari rumah mereka sambil menangis. Dan pesan-pesan selanjutnya dari Rifando yang memarahiku, karena menurut cerita dari Nilla, gadis itu dipermalukan olehku di depan Tante Emma. Entah bagaimana perasaanku sekarang sudah campur aduk, kesal, takut, dan sedih.

Aku kesal karena Rifando marah-marah padaku. Aku sedih karena Rifando tak mendengarkan aku dulu. Aku membela diri pun rasanya sulit. Ya, sejujurnya aku juga takut sekali sesuatu buruk terjadi pada Nilla, aku belum tahu dia memiliki riwayat sakit apa. Siapa tahu aku benar-benar bisa berbahaya untuknya. Aku kesal sekali dengan situasi terjebak ini. Kalau Nilla tidak sakit, tentu aku bisa lebih berani melawannya. Aku kan tidak mau bisa terseret kasus kalau dia kenapa-napa. Pokoknya aku tak mau terlibat lagi dalam hubungan Rifando sampai sekarang tak mau menggubris panggilan atau membalas pesannya.

Pintu kamarku diketuk oleh seseorang, aku berteriak agar orang itu masuk saja karena hanya ada Rafel di rumah. Bunda sedang melakukan perjalanan dinas kunjungan ke sebuah daerah di Sukabumi, Ayah masih di kantornya, dan Kelvin masih berada di kampus sejak pagi belum pulang juga sampai jam segini.

“Kak Andah!” seru Rafel muncul di pintu kamar sambil membawa ponselnya dengan raut wajah panik. Cowok itu terlihat pucat, syok, dan napasnya kacau. Rafel hanya megap-megap. Aku menjadi panik melihatnya yang sedang sesak napas seperti itu.

“Kamu kenapa?” tanyaku ketakutan.

Rafel meneguk ludahnya, jakunnya bergerak beberapa kali sampai akhirnya bisa bersuara. “Bang Fando nelepon kenapa nggak diangkat, Kak? Dia nanyain Bang Kelvin ke mana, lalu sambil nangis cerita ngasih kabar kalo Tante Emma—masuk rumah sakit. Tante Emma jatuh di tangga rumahnya sampai nggak sadarkan diri.”

Aku menganga terkejut mendengar cerita Rafel, jantungku menjadi rasanya jatuh ke lantai melemas. Sejujurnya aku tak punya pemikiran apa yang harus dilakukan, kecuali perasaan dalam hati yang langung menjadi tak enak dan berat. Sesak. Aku menjadi bingung menerima kabar ini, harus bagaimana? Apa yang bisa aku lakukan untuk Tante Emma?

Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang, perasaan bersalah segera menyelimuti hati dan pikiranku. Yang membuatku makin hancur bagai benda tak berguna, aku mengabaikan Tante Emma. Aku menyakiti hati wanita itu. Aku tak bisa diandalkan oleh Bunda. Aku mengusap air mata belum bisa melangkah saking lumpuhnya otot tubuhku. Rafel muncul semakin mendekat lalu memelukku erat.

"Kak, tenang, tenang," Rafel mengelus punggungku menenangkan aku yang nangisnya semakin keras. Aku menangis tak bisa berkata apa-apa untuk menyahuti ucapan Rafel. Tak pernah aku sangka Rafel bisa lebih dewasa dibandingkan aku.

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang