Di hari Sabtu secerah ini aku sudah memiliki jadwal untuk pergi ke Tiramissyou bersama Kelvin. Sudah bersiap aku mendapati Kelvin lagi di ruang keluarga membuka kardus yang berisikan donat super menggoda. Cowok itu sudah siap dengan kaus lengan pendek warna abu-abu tua dan celana jeans robek di lututnya.
Aku yang melihatnya menganga heran. Kelvin mengorder donat dalam rangka apa?
"Wah, tumben beli? Mau buat siapa? Natasya?" tanyaku heboh sudah ngiler banget melihat donat dengan topping cokelat.
"Ambil aja nih, ini dikirimin sama Fando. Ini bocah kadang suka pesen sesuatu ngirim ke sini tapi nggak kasih tahu dulu. Pas makanannya udah di jalan baru dikasih tahu."
Mendengar bahwa itu makanan pemberian dari Rifando membuat senyumanku segera terhapus. Aku masih tidak enak hati, sudah dua mingguan duka berlalu tapi aku belum berbicara lagi pada Rifando tentang hari itu. Secara jelasnya aku belum minta maaf padanya secara langsung dan menyelesaikan masalah itu. Mungkin dia menganggap masalah itu sudah berlalu, tho tidak penting amat. Namun aku merasa bersalah sekali. Di acara pengajian 7 harian mendiang Tante Emma, aku juga tak menyenggol masalah itu padanya. Bagaimana mau bicara juga, ada Nilla yang sepertinya mengawasi kami habis-habisan.
"Ndah, udah ambil sini," kata Kelvin menegur aku yang masih melamun.
Aku terperanjat kedapatan hanya menatap donat itu ragu. Pandanganku tertuju pada Kelvin yang menunjuk pada donat. "Aku masih nggak enak rasa sama dia. Ngerasa bersalah dan jahat. Padahal aku jahat banget saat dimintai bantuan." Aku bercerita sambil membanting tubuh ke sofa depan TV.
"Kalo kamu tahu satu hal ini, mungkin kamu bakalan makin merasa bersalah dan semakin enggak enakan sama dia."
Masih ada pertanyaan dalam benakku yang pernah Kelvin lontarkan tempo hari, sejujurnya aku ingin tahu namun Kelvin waktu itu mengalihkan topik. Kelvin juga tampak sedih setelah kepergian Tante Emma, makanya aku tak banyak bicara dengannya menanyakan tentang ucapannya malam itu.
"Apa? Kasih tahu aku cepetan?" tanyaku.
Kelvin memandang sekitar lalu menarik napasnya dengan raut wajah misterius serius. "Waktu Abang sama Fando marahan, Bunda ngasih tahu sesuatu. Ndah, jangan syok ya?"
"Apaan? Cepetan ngomongnya," gerutuku tak sabar.
"Bunda dan Ayah minjem duit ke Tante Emma sampe 50 juta. Sampe sekarang sisanya masih 20 juta. Mereka udah ngomong ke Bang Gara beberapa waktu lalu untuk pembayaran setiap bulannya nanti bakal masuk ke rekening atas nama Rifando. Itu buat tabungan pendidikan Elda. Tabungan Tante Emma juga bakal dipindahin ke rekening Pendidikan Elda."
Aku melongo baru mengetahui itu. "Untuk apa minjem sampai sebanyak itu?" Suaraku menjadi terbata-bata.
Kelvin mendecakkan lidah, gemas. "Uang kuliah kita, sekolah Rafel."
Aku juga selama ini bertanya-tanya, terlalu takut untuk membayangkan. Dulu Bunda mengatakan agar aku tak perlu khawatir masuk Universitas Pramudita yang mahal itu kayak Kelvin. Siapa sangka bahwa mereka bekerja keras sampai meminjam uang. Sekarang mendengar bahwa uang kuliahku adalah berkat kebaikan keluarga Rifando, makin malu dan tidak enak hati.
"Andai, aku pinter ya biar dapet beasiswa. Bang, aku jadi makin merasa bersalah. Bukan hanya sama Rifando, tapi juga sama Ayah dan Bunda. Mereka membiarkan aku masuk jurusan apa aja dan pilihanku sebenarnya nggak sesuai minat. Waktu itu aku coba-coba nggak mikirin tujuannya."
Kelvin menatapku serius. "Kenapa?"
"Aku percaya kalau hidup sesuai alur. Walau kita nggak milih, sebenarnya ini yang sudah Tuhan rencanakan ya, kan? Harus aku akui kalo sampai semester 6 ini, aku sama sekali nggak minat jadi pengacara atau bekerja di firma hukum. Aku pengen di perusahaan, Bang. Aku pilih masuk Hukum karena penasaran."

KAMU SEDANG MEMBACA
Terang
RomantizmRated 18+ Saat dia mengatakan, "Kamu sakit hati di kisahmu. Ya memangnya aku enggak?" Saat itulah sebenarnya aku tidak tahu apa-apa dan larut dalam prasangka bahwa dia sudah dan selalu bahagia. Copyright©2021