40. Gara-gara siapa hah?

1.3K 113 1
                                        

"Kira-kira Fando bakalan suka ini nggak ya?" Aku menyorongkan ponsel pada Sasa. Di layar menampilkan sebuah gambar berupa kaus olahraga.

Sasa mengamati lalu mengangguk. "Dia bakal suka apa pun itu. Karena itu hadiah dari kamu, orang yang dia sayangi."

Walau mendapat keyakinan dari Sasa, aku masih meragu untuk memilih beli hadiah wisuda, sekaligus hadiah perpisahan untuk Rifando. Susahnya jika memiliki pacar yang semua kebutuhan dirinya sudah bisa terpenuhi sendiri. namun aku mencoba berpikir-pikir lagi untuk membeli benda apa yang sekiranya bisa digunakan dirinya di Singapore. Aku tak ada ide.

Hubungan kami masih terjalin sampai hari ini. setelah beberapa bulan pembicaraan menyeramkan di kantin Fakultas Hukum. Yeah, ternyata ketakutan itu hanya membayangi dalam otak. Tak benar-benar terjadi. Aku semakin memantapkan hati bahwa patah hati, hubungan rusak, itu adalah hal yang wajar selama jatuh cinta. Aku tak mau dirindung perasaan takut kalau hubunganku akan berakhir tragis bersama dengan Rifando, satu-satunya orang yang sangat aku cinta, dan sangat inginkan untuk hidup bersama selamanya. Astaga, aku merinding membayangkan cita-cita untuk hidup lebih lama bersama cowok menyebalkan itu.

Sore itu, di kantin fakultas Rifando meyakinkanku bahwa hubungan kami akan baik-baik saja selama kita saling percaya dan mencintai. Dia membuatku yakin, kita tak perlu mendengarkan orang lain. Kemungkinannya, omongan orang itu hanyalah bentuk teror agar masuk ke dalam pikiran kita. Aku juga setuju dan menganggap omongan Bianca dan Zetta tak usah aku ambil hati dan menjadi beban.

Aku akan mempercayai Rifando, cowok itu tak akan berbuat jahat padaku. Padahal Rifando juga sedang mencari jalan yang terbaik untuknya. Dia bilang namanya jalan pulang. Dia tak bisa bersama Nilla lebih lama, makanya dia menyerah.

Tidak ada yang benar atau salah. Rifando memang salah dia melanggar janji. Namun dia hanyalah manusia biasa yang tidak bisa sekuat itu. Meskipun dia tak pernah menunjukkan secara kata-kata, sekilas aku bisa merasakan dia masih merasa sangat kehilangan sang ibu. Terkadang dia suka melamun menekuri suatu titik lalu matanya seperti berembun.

Puncak ketegarannya diuji kala selesai Wisuda, aku menemaninya ziarah ke makam Tante Emma, Mamanya. Cowok itu tak bisa lagi membendung air matanya terus menangis, meracau kata-kata maaf, dan meminta agar Mama-nya tenang di sana. Cowok itu akan melakukan hal-hal baik di dunia bersama orang-orang di sekelilingnya. Aku memahami betapa waktu sangat cepat berlalu, kepergian Tante Emma yang sangat tiba-tiba membuat penyesalan amat besar dalam kenangan hidup Rifando. Dia berandai-andai, jika sore itu langsung pulang ke rumah tentu akan bisa menolong Mama-nya lebih cepat.

"Kayaknya aku mau beliin jam tangan deh." Aku asal bicara.

"Yakin? Jam tangan yang biasa dipake tuh cowok aja udah mahal, kamu mau beliin yang harga berapa?" Sasa menganga.

"Songong kamu meremehkan aku, tapi iya sih jam tangan dia udah mahal banget. Kok kamu juga peka sih sama aksesoris dia?"

"Ya gimana aku nggak tahu, aku kan hapal barang branded. Pengamat gaya orang lain. Karena Fando mau kerja di sana, kamu beliin celana atau kemeja kerja aja."

Aku mendelik. "Ah, yang bener idemu? Jangan kayak gitu, yang lain."

"Apa ya? Ya udah baju olahraga yang tadi kamu bilang itu. Di sana pasti dia aktif olahraga karena gabut nggak bisa pacaran sama kamu."

"O—oke. Alasanmu lumayan bikin aku deg-degan." Aku senyum kecil lalu melihat toko-toko baju online yang menjual baju olahraga, tentu untuk membandingkan harganya.

Tiba-tiba layar ponselku menjadi tak bisa dipencet alias segera muncul panggilan telepon dari Rifando. Aku menerima dengan heran. Ngapain dia nelepon?

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang