17. Kabar burung

2K 250 47
                                    

Hari ini sudah malam menunjukkan pukul 7. Aku baru saja merapikan buku, laptop, dan catatan file perkuliahanku ke dalam tas. Turunnya hujan itu tepat sekali ketika aku memakai tas ransel. "Yah, hujan lagi!" gerutuku disertai desisan.

"Hujan itu rezeki, jangan dikeluhkan." Jonny berkomentar dengan amat sok bijak, lelaki jangkung setinggi 185cm itu muncul sambil melihat ke arah pandangan yang sama denganku.

Ke arah depan kafe lewat jendela kaca. Sudah sejak tadi sore aku duduk numpang wifi-an di kafe Tiramissyou mengerjakan tugas Sosiologi Hukum. Bukan hanya numpang menggunakan internet gratis, di sini aku juga sekalian ngopi-ngopi cantik menenangkan pikiran dari banyaknya kuis kuliah beberapa minggu ini dan juga tugas Hukum Investasi yang makin menggila. Melupakan ruwetnya tugas dengan tugas baru adalah cara terseram, setidaknya pikiranku tidak terfokus pada hal tak penting lagi.

"Iya sih, andai bisa keluar pesen Ojek setengah jam lalu, kali aja udah sampe rumah."

"Ya kali bisa langsung sampe, kalo macet terus kejebak di tengah jalan? Kalo kehujanan di jalanan gimana?" Jonny masih nemenin aku ngobrol.

Malam ini di kafe tidak terlalu ramai membuat cowok itu tak sibuk banget dan aku bisa asyik melakukan kegiatanku di spot depan jendela kafe berlama-lama tanpa harus bergantian dengan tamu baru. Tempat ini sudah aku duduki sejak tiga jam yang lalu juga sih, saat tadi kafe memang masih sepi banget. Hujan akan semakin membuat sepi orang malas berkunjung, kecuali ada pengunjung yang mampir memang ingin menghindari hujan di luar sana.

"Kelvin lagi sibuk rapat lagi," aku masih menggerutu sambil buka hape untuk menanyakan keberadaan cowok itu.

"Yah udah nggak usah buru-buru pengen pulang, santai aja kafe tutup jam 11."

"Tapi, aku pengen cepet pulang. Ini numpang duduk nggak perlu beli apa-apa lagi kan kalo nunggu sampe satu jam lagi?"

"Kagak sih, kecuali lagi rame banget pasti harusnya tamu punya perasaan nggak enakan hati kalo nongkrong lama tapi waiting list ada yang pengunjung yang celingukan nyari tempat."

"Yee kalo itu mah emang harus cepet cabut, nanti pemiliknya rugi kalo si pengunjung yang baru dateng gak dapet tempat."

"Tumben pinter lo!"

"Sembarangan, kuliah udah ngelewatin lima semester masa masih diragukan kepinteranku?"

Jonny terkekeh malah duduk di kursi depanku. Aku menaikkan sebelah alis heran karena cowok dengan rambut belah tengah itu sepertinya keasyikan ngobrol sama aku. "Udahlah Ndah, gaskeun sekarang waktunya buat chat doi!"

Aku takut salah mendengar, dia tadi menyebut doi atau Doyi ya? "Siapa?" tanyaku memang tak mengerti.

"Ya Rifando, kalo lupa nama panggilan sayang, si Doyi." Jonny memang harus aku tempeli dengan stempel 'Manusia Menyebalkan'. Bisa-bisanya dia mengungkit seseorang yang sedang aku abaikan dan lupakan.

"Ogah, enggak tahu aja Bang usahaku buat ngelupain. Aku bukan orang yang bergantung lagi sama dia," kataku sambil sok dramatis memegang dadaku tempat di mana hati itu berada. Kalau aku ingat-ingat sudah nyaris tujuh bulanan Rifando berpacaran dengan Nilla, ya artinya aku sudah menjauh sudah selama itu.

Bagaimana perasaanku saat ini dalam menghadapi dua manusia itu? Aku sudah biasa saja. Aku sudah semakin berani buat memerangi mereka. Katanya, saat perasaan kita sudah tak ada tanda-tanda menunjukkan rasa gelisah saat berada di dekat orang tersebut, sakit hati, atau cemburu, progres move on nyaris berhasil. Mempersiapkan untuk bertemu dengan orang baru.

"Ini waktunya lah, nggak apa-apa kali minta jemput. Kali aja nanti jadi baikan, akrab lagi, terus bisa sayang. Cieeeee!" seru cowok itu membuatku ingin menyumpalnya dengan kotak tisu.

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang