16. Sejak saat itu ya?

2K 242 57
                                    

Dari balik pintu kaca aku hanya bisa berani mengintip ke dalam ruangan itu. Berbekal orang yang mondar-mandir keluar masuk aku bisa melihat ke ruangan dalamnya secara nyata tanpa pembatas, namun aku tetap tidak bisa melihat gadis itu di dalamnya. Aku dengan Rifando saat ini sedang menunggu di depan Ruang Hemodialisa salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Ruangan tempat cuci darah.

Hari ini aku menawarkan diri agar ikut datang ke tempat di mana Nilla biasa melakukan rutinitas setiap dua minggunya, yaitu cuci darah. Nilla sakit gagal ginjal. Ini sungguhan. Aku tahu aku tak akan sanggup melihat Nilla, apalagi masuk ke dalam ruangan itu. Pilihanku ada di tangan sejak dari rumah, konsekuensi yang aku tanggung kalau berani datang harus berani menemuinya. Tetapi aku tidak akan bisa masuk ke dalam ruangan itu saat ini. Aku tidak akan bisa. Perasaan gelisahku diliputi rasa bersalah karena membuatnya sakit terus-terusan menghantui. Bagaimana jika aku akan membuat dia semakin parah sakitnya?

Rifando menangkap gelagatku yang sedang bingung berat. Sejak keributan di kafe dan pingsannya diriku kemarin di parkiran kafe. Aku benar-benar dirindung perasaan bersalah. Aku sudah menuduh Nilla berbohong, aku sama saja dengannya yang menebarkan gosip bohong alias mentahan.

Kita sering kali membicarakan keburukan orang lain tanpa sadar bahwa kita juga tidak sempurna. Aku hanya mendengar omongan Nilla yang tidak jelas langsung menarik kesimpulan bahwa dia hanya pura-pura sakit dan berbohong. Aku marah dengannya karena dia memfitnah diriku. Namun aku juga melakukan hal yang sama. Aku menuduh Nilla berbohong. Cewek itu sungguhan sakit. Aku hanya salah dalam memahami pembicarannya. Iya dia memang memiliki drama berlebihan, yang menggunakan keadaan sakitnya untuk menarik simpati. Toh, nyatanya Nilla memang sakit.

"Nggak apa-apa kalo kamu nggak mau masuk, nanti bisa ketemu sama dia di ruangan perawatan. Tapi kondisinya dia nggak seperti yang kayak sehari-hari ya, Ndah," kata Rifando. "Jangan dipaksa mau masuk ke dalam sekarang, kamu nggak bisa lihat darah."

"Keluar dari sini masih lama ya?"

"Mulai jam 1 tadi, kemungkinan selesai jam 6 sore."

Aku melihat jam di tangan menunjukkan pukul 3 sore. Selain aku tidak bisa melihat darah, walau di dalam selang-selang itu tetap saja masih terlihat jelas. Aku tidak kuat untuk melihat dirinya bahkan untuk sekadar minta maaf. Aku sudah terlalu banyak melukai hatinya sejak bertemu, aku sudah menyakiti dirinya, dan aku adalah objek menyakitkan yang pernah ada untuknya. Dia pasti bisa kesal dan semakin sakit ketika melihatku.

"Aku nggak tahu kalo kamu nggak bisa lihat darah, yang aku inget kamu paling nggak mau donor darah. Aku inget waktu kamu terpaksa harus cabut gigi kelas 6 SD di dokter gigi, Kelvin cerita kalo kamu pake kacamata hitam. Aku ketawain ngira kamu ketakutan, sebatas itu."

"Dulu sih enggak, tapi sejak kelas 5 SD aku mulai takut." Aku mengerjapkan mata takut teringat bayangan darah-darah mengerikan itu lagi. "Setiap bulan menjelang waktunya rasanya kayak ketakutan setiap datang bulan. Bahkan aku masih pake kacamata hitam kok sampai sekarang kalau terpaksa harus berhadapan sama darah." Tidak ada yang tertawa walau ceritanya lumayan absurd dan lucu.

"Sejak saat itu ya?"

Aku memandangi Rifando yang tiba-tiba menarik tanganku, memaksa aku agar menatap dirinya yang memasang raut wajah aneh. Aku masih bingung, namun dia menggenggam kedua tanganku dengan lembut.

"Ada cerita yang aku baru tahu, kalo ada yang pertama kali datang pagi-pagi ke rumah itu buat nganterin sebuah raket dan juga kue ringan. Jam 7 pagi dia menemukan mereka, saat di mana salah seorang anaknya sedang menginap acara kemah di sekolahan. Dia datang ke rumah itu buat balikin sebuah raket dan makanan karena disuruh sama Bundanya."

Aku terkesiap ketika Rifando menceritakan hal itu, dari sudut pandang orang ketiga. Aku tidak kuat untuk mengingatnya karena aku adalah orang di sudut pandang pertamanya, kalau diingatkan, aku bagai kembali ke lokasi mengerikan itu lagi. Aku yang menjadi tokoh di cerita Rifando barusan. Lekat-lekat aku memandangi Rifando dengan tenggorokan tercekat. Bayanganku langsung terbayang lagi saat Bunda memberikan raket dan plastik berisi sesuatu padaku.

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang