Dedicated to idaajj makasih udah setia baca. Love u full... Sesekali komen isinya dong. Butuh kritik n saran, dijamin aman g bakal dilarikan ke kandang besi kok. Sorry sarkas.
Laila POV
Aku baru saja melangkah masuk ke dalam ruang tamu ketika Teh Lilis dibantu Dinda sibuk mengangkat barang di belakangku. Aku baru menyadari keberadaan mereka setelah mendengar suara gaduh yang membuatku tertarik untuk memutar kepalaku ke belakang.
"Wah, banyak sekali, sini Laila bantu, " ucapku seraya mendekati Teh Lilis yang terlihat kesulitan untuk melihat jalan di depannya karena pandangannya tertutup oleh tumpukan kotak karton yang berwarna-warni. "Ada yang mau lamaran, Teh?" bisikku saat aku berhasil menarik dua kotak karton itu ke tanganku yang ternyata cukup berat. "Apa ini, Teh?"
"Kurang tahu, Neng. Yang jelas ini kiriman dari Jakarta untuk Neng Laila."
Ucapan teh Lilis membuatku tersentak, "Untuk saya, teh?" Aku menatap teh Lilis meminta penjelasan.
teh lilis tersenyum, "Iya, ini kiriman dari Jakarta untuk Neng Laila,"
Aku merenggut, "Tapi Laila tidak memesan apapun, Teh? Laila tidak membeli apapun sebelum berangkat kesini."
Teh Lilis kembali tersenyum, "Ini mau ditaruh dimana, Neng?"
"Tunggu dulu, teh. Ini dari siapa? Terus isinya apa?"
"Kenapa nggak kita buka aja dulu, Neng. Nanti Neng Laila juga tahu, " Teh Lilis berkedip saat aku masih menatapnya dengan alis terangkat bingung.
"Ya, udah. Kita buka disini, aja. Siapa tahu ini prank?" sahutku menyetujui. Aku berjongkok dan meletakkan dua kotak cantik berpita itu di lantai, dengan sedikit tergesa karena aku adalah orang yang tidak sabaran, aku membuka tutup kotak pertama yang berwarna coklat tua, dan terkesiap ketika menemukan macarons favoritku di dalamnya. Ada tiga box macaron berbagai warna dan rasa. Ya Allah, siapa yang mengirimnya? Apa mungkin Saif? Seingatku aku memintanya untuk menghabiskan isi kulkasku sebelum pergi? Tapi tunggu dulu.
"Teh, tadi kurirnya bilang nggak siapa yang mengirim?"
Teh Lilis kembali tersenyum, senyum yang penuh arti yang hanya dia sendiri yang tahu apa makna dari senyumnya itu. "Tadi diantar sopir yang mengantar Neng Laila kemarin."
"Sopir? Sopir Bang Omar?" cetusku yang kemudian aku sesali, "Maksud saya, pak Omar?" aku melirik Dinda yang hanya menawariku senyum sopan sebelum kembali menghilang setelah meletakkan karton-karton itu di lantai yang dingin.
"Iya, Neng."
"Oh..." aku kembali membuka kotak karton lainnya, dan lainnya hingga semua karton bahkan yang baru dibawa masuk oleh suami dan Dinda. Dan aku semakin terkejut karena dari semua kotak-kotak itu adalah makanan. Mulai dari buah, buah kering, biskuit, coklat hingga yougurt dan entah apa yang merasuki Omar dia mengirimkan, dua kue, satu kue coklat yang terlihat sangat cantik hingga aku berpikir tak mungkin aku memakannya, namun terlihat begitu mengiurkan, dan satu lagi kue yang dipenuhi oleh berbagai macam potongan buah-buahan diatasnya. Apa menurutnya sogokannya ini mampu menghilangkan kekesalanku padanya?
Maaf, aku tidak bisa mengantarmu. Telpon aku kalau kamu sudah tidak marah.
Omar,
Your future husband
Aku buru-buru menyembunyikan kartu yang terselip di salah satu box dan menyimpannya di saku jaket yang aku kenakan. Aku harap baik Dinda maupun Teh Lilis tak melihatnya. Aku menutup mata sesaat sambil menarik napas panjang sebelum kembali menatap berbagai makanan yang berserakan di lantai. Aku kembali menarik sudut bibirku dengan malu saat menatap Dinda yang telah kembali dengan satu box tambahan, Teh Lilis dan suaminya yang berdiri mengawasiku dengan mata bulat mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband On Progress: Cinta Itu Ada
Любовные романыOmar, anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Keluarganya, lebih tepatnya sang ibu memintanya untuk segera pulang membawa menantu, bahkan telah memilih beberapa kandidat yang menurutnya pantas menjadi menantu dan istri dari putra kesayangannya itu...