Laila POV
Pagi ini akan sedikit berbeda. Ya tentu saja, aku yang biasanya berjalan kaki menuju kantor harus memesan taksi karena aku tidak ingin membuat kehebohan saat orang-orang melihat aku menyeret dua koper besar, satu ransel 38L di punggung serta tas selempang di bahu kanan. Berjalan terseok-seok di atas trotoar berkeramik kasar menuju kantor yang berjarak sekitar satu kilometer.
Terima kasih untuk Omar! Daripada berangkat ke kantor untuk bekerja aku lebih mirip orang yang mau pindahan. Ironisnya itulah kenyataannya. Padahal aku tidak membawa banyak barang. Hanya yang aku perlukan saja terutama untuk awal minggu-minggu ini, diantaranya lima setelan pakaian kantor, tujuh setelan pakaian tidur, tiga setelan pakaian santai yang terdiri dari kaus oblong dan celana kain pendek, tujuh setelan pakaian untuk olahraga, mukenah dan sajadah, serta sleeping bag, mengingat aku akan mengalami sedikit kesusahan tidur di tempat yang kurang familiar untuk pertama kalinya, dengan adanya sleeping bag warna fusia itu aku berharap tidurku akan nyaman dimalam pertama. Malam pertama di tempat asing maksudku.
Taksi online yang aku pesan ternyata sudah tiba di pelataran kantor. Aku tak menyangka waktu berlalu dengan cepat. Baru tadi malam aku sibuk berbenah sekaligus packing, sekarang? Aku malah sudah tiba di kantor dan siap dikirim kemanapun sesuai dengan titah baginda CEO!
"Makasih, pak, " ucapku begitu mobil berhenti di depan lobby. Kehadiranku akan membuat kehebohan, aku yakin itu. "Minta tolong bantu turunkan, barang ya pak!"
"Iya, neng. Emang, neng mau kemana? Ini hotel apa kantor, Neng?" Tanya si bapak kepo.
"Saya mau keluar kota, pak, tapi mampir dulu di kantor." Aku menggeser dudukku dan hendak meraih pintu.
"Kenapa nggak langsung ke bandara saja, Neng. Bapak bisa antar, murah, kok. Bapak bisa tunggu."
Aku tersenyum, "Tidak, Pak. Titah baginda CEO."
"Siapa, Neng?"
"Atasan saya, nanti saya berangkat bareng beliau."
"Oh, kirain cuma mau ambil dokumen atau apa, bapak bisa nunggu loh, Neng." Paksa si bapak.
"Maaf, pak. Tapi nanti berangkatnya bermobil. Deket kok, cuma ke Bogor."
"Oh .... " Si bapak mengangguk lalu keluar dari mobil. "Banyak sekali bawaannya, Neng? Mau pindahan?" Lanjut si bapak yang sudah mulai menurunkan muatan dari bagasi mobil.
"Iya, pak. Sementara, ada proyek di Bogor."
"Oh. Ini kantor apa sih, Neng?" Si bapak yang penasaran kembali bertanya sambil menurunkan koper terakhirku.
"Ini kantor konsultan arsitek, Pak, " sahutku menjelaskan. "Pak, saya bayarnya, cash ya."
"Iya, Neng."
Aku menarik selembar uang lima puluh ribuan. "Kembaliannya untuk bapak saja."
"Iya. Makasih, Neng." Si bapak dengan wajah lelahnya tersenyum dan menyambut hangat ukuran tanganku. Wajahnya memancarkan kebahagian, aku senang telah berhasil membuat orang yang pertama aku temui pagi ini bahagia meski hanya sesaat.
"Iya, sama-sama, saya yang makasih sudah dibantuin. Mari, Pak, " gumanku lalu memutar tubuhku dan kembali berjalan terseok-seok setelah mendengar sahutan si bapak.
"Sini, mbak Laila, saya bantu." Satpam yang biasanya bertukar sapa denganku menghampiriku setelah mengetahui bahwa aku yang baru saja turun dari mobil, "Saya pikir mbak Laila, siapa!" Si bapak tertawa renyah.
"Iya, makasih nih udah di bantuin." Aku membiarkan pak Tono untuk membantuku menyeret dua koper besar itu. Kurasa peralatan mengambarkulah yang memakan banyak tempat. "Nanti saya traktir es krim, gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband On Progress: Cinta Itu Ada
RomantizmOmar, anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Keluarganya, lebih tepatnya sang ibu memintanya untuk segera pulang membawa menantu, bahkan telah memilih beberapa kandidat yang menurutnya pantas menjadi menantu dan istri dari putra kesayangannya itu...