Laila POV
"Aku datang untuk menghadiri resepsi pernikahan temanku." Laki-laki menarik di hadapanku itu menyeruput kopinya sebelum menjawab pertanyaanku dengan santai.
"Oh, kita sama berarti. Aku juga datang untuk menghadiri pernikahan Temanku. Jangan katakan kau juga mengenal Saif?"
Arial, laki-laki bermata teduh itu tersenyum. "Kita bekerja di satu lingkaran Laila, tentu saja aku mengenalnya."
Aku tertawa kecil, "Ya, ya, kamu benar. Omong-omong mana plus one, kamu?"
"Plus one?" Arial menggeser pandangannya tepat ke arahku. Mata kami bersatu selama beberapa saat, jujur hal itu membuatku gugup. Aku segera berpaling. Arial, bagaimanapun adalah laki-laki yang aku kagumi bertahun-tahun lalu saat kami duduk bersama di kelas saat berkuliah di jurusan arsitektur. Dan, aku tak tahu apakah perasaan itu masih tersisa. Melihatnya lagi setelah hampir bertahun-tahun tak bertemu membuatku mengenang masa-masa menyenangkan itu.
Aku mengangguk.
Senyuman jenaka adalah jawaban pertama yang aku terima. Lalu, ia menatapku secara menyeluruh sebelum kembali menatapku tegas, "Apakah kamu bersedia menjadi plus one-ku?"
Pertanyaan itu tak pernah terpikirkan olehku. Arial tak pernah melirikku. Selama bertahun-tahun kami saling mengenal ia tak pernah menggodaku, apalagi dengan sesuatu yang melibatkan perasaan. Hubungan kami sangat jelas dan terang sebagai sahabat. Atau lebih tepatnya teman satu jurusan, karena kami juga jarang bermain bersama selama masa-masa itu.
Aku tertawa meski responku itu sangat terlambat. "Aku takut akan ada yang cemburu."
"Ada yang cemburu? Kamu datang bersama seseorang? Aku dengar dari Saif kamu masih sendiri," Arial mencercaku dengan pertanyaan.
Aku tertawa canggung, "Tidak, maksudku. Kamu laki-laki yang menarik, aku yakin tidak akan ada perempuan yang melewatkan kesempatan untuk bersamamu." Jawabanku membuat sorot mata Arial berbinar. "Maksudku, selama kuliah saja kamu memacari tiga dari teman kita, aku yakin kamu tak akan pernah betah sendiri."
"Oh, kamu melukai hatiku, Laila."
Aku tertawa mendengar jawaban Arial. "Baiklah, sekarang aku akan bertanya dengan serius. Kamu sudah menikah atau belum? Mana istrimu? Kenapa kamu tak mengundangku?"
"Aku menunggumu! Jadi aku belum menikah."
"Arial jangan bercanda!" Jeritku gemas. "Aku bertanya serius!"
"Aku serius!" Tegas Arial.
Aku mengalihkan pandang darinya, terdiam sejenak, memikirkan ucapan Arial, lalu mendesah sebelum menatapnya lagi dengan senyuman tipis. "Kalau saja kamu mengatakannya saat kita masih kuliah." Aku menatapnya tegas, "Aku pasti akan jatuh ke jebakanmu," imbuhku lalu tertawa.
Ya, pasti aku juga akan tergiur untuk bersama laki-laki, ini dulu. Sekarang? Semua sudah berbeda. Sulit bagiku untuk memercayai laki-laki. Lihat saja Omar, laki-laki pembual yang suka menebar janji. Janji busuk!
Memikirkan laki-laki itu membuatku keqsal. Aku masih tak mengerti apa maunya.
"Laila? Kamu mendengarku?"
"Huh?" Aku menemukan Arial menatapku lekat. "Kenapa?"
"Aku tidak bercanda Laila. Aku tahu dari Saif kalau kamu masih sendiri, dan aku juga masih sendiri. "
Aku mengangkat alisku, lagi-lagi Arial mengejutkanku dengan pernyataannya.
"Aku rasa kenapa tidak kita coba saja dulu? Kita sudah saling mengenal satu sama lain, aku rasa akan lebih mudah menjalin hubungan dengan seorang teman, bukan? Kita bisa menjadi partner selamanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband On Progress: Cinta Itu Ada
RomansaOmar, anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Keluarganya, lebih tepatnya sang ibu memintanya untuk segera pulang membawa menantu, bahkan telah memilih beberapa kandidat yang menurutnya pantas menjadi menantu dan istri dari putra kesayangannya itu...