Bab 35: Jatuh Hati pada Pandangan Pertama

377 17 0
                                    

Omar PoV

Aku mengembuskan napas puas. Satu langkah lagi dan Laila akan menjadi istriku. Tidak. Proses untuk menjadikan Laila istriku masih cukup panjang.

Ketika Laila akhirnya menyetujui tawaran ta'arufku yang kedua, aku tahu kesempatan itu ada padaku. Bukan Arial atau siapapun. Aku akan memastikannya.

Karenanya aku harus terbang ratusan kilometer menuju sebuah desa terpencil yang namanya belum pernah aku dengar. Lelah tidak menjadi halangan. Perjalanan yang membutuhkan waktu sekitar lima jam itu akhirnya membawaku kepada kebahagian yang aku idamkan selama ini.

Ayah dan ibuku sebenarnya ingin ikut andil dalam perjalanan ini, tetapi karena pertemuan itu akan menjadi pertemuan pertama dan aku masih belum yakin apakah aku bisa tiba di tempat tujuan tanpa tersasar, akhirnya dengan berat hati sekaligus lega aku menolaknya.

Nanti saja, ketika Laila telah resmi menerimaku sebagai calon suaminya. Aku pastikan aku akan membawa mereka ke sana. Menemui keluarga besar Laila. Dan kami bisa merencanakan pernikahan kami bersama. Ya Allah, akhirnya hari bahagiaku akan tiba.

"Mang, ini benar jalannya?" Tanyaku kepada Mang Joni. Supir sepupuku dulu yang kini menetap di Surabaya untuk menjaga rumah tuannya yang pergi untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di London.

"Iya, Bang. Benar ini jalannya, saya dulu sering ke sini untuk mengantar non Bila," sahut Mamang yakin.

"Non Bila? Siapa?" Tanyaku dengan alis berkerut.

Mang Joni tertawa kecil, "Itu, pacar Tuan Muda dulu waktu masih kuliah." Aku mengangguk. Tidak menyangka Caster, sepupuku yang cukup urakan itu akan jatuh hati kepada gadis desa. Apakah seperti aku yang juga jatuh hati kepada gadis desa? "Bulan lalu Mamang kesini buat antar non Bila."

"Oh, mereka masih berhubungan?" Tanyaku penasaran. Aku tidak pernah mendengar ini sebelumnya. Aku pikir sepupuku itu masih menjalin hubungan dengan teman sekolahnya dulu, siapa itu namanya? Em, Kelly. Ya Kelly.

"Rasanya sih, sudah tidak lagi, Bang. Lagipula mereka tidak pernah bertemu lagi sejak dua tahun lalu, eh, sudah tiga tahun, sih."

"Oh. Ya, siapa tahu LDR-an, anak muda, kan, biasanya begitu?" Sahutku.

Mamang menghela napas berat, "Non Bila mau ke Taiwan, Bang. Tuan Muda sendiri tidak mau pulang ke Indo. Sayang memang, padahal non Bila, cantik, Bang. Baik lagi. Pokoknya calon idaman lah."

Aku tertawa, "Belum jodoh mungkin, Mang. Kalau jodoh, nanti mereka akan bertemu lagi di Indonesia atau mungkin di mana saja, Allah Maha Perencana. Kita berdoa saja yang terbaik untuk mereka."

Mamang mengangguk. "Ya, saya hanya berharap Tuan muda bahagia. Dulu minta adik, setelah mendapatkan adik malah kabur, saya sebenarnya kurang paham jalan pikirannya seperti apa," keluhnya.

"Mungkin dia sedikit terkejut, dan belum bisa menerima kehadiran seorang adik di keluarganya. Apalagi selama ini dia satu-satunya  bagi orangtuanya. Mungkin belum terbiasa membagi perhatian saja."

"Ya semoga saja begitu," jawab Mamang sepakat. Tetapi aku masih merasa Mamang belum puas dengan jawabanku.

"Jadi Abang ini sudah berapa lama dekat dengan calon Abang itu?"

Aku menatap ke luar jendela. Sepanjang jalan hijau, kami melewati jalanan yang padat dan kiri-kanan jalan deretan kebun, pohon-pohon yang hijau. Udara di mobil terasa begitu sejuk sejak setengah jam yang lalu.

"Belum lama," sahutku. "Eh, Mang, masih jauh?"

"Doakan saja lancar, tidak ada kemacetan atau kecelakaan. Kalau lancar kira-kira satu setengah jam lagi kita tiba di desa tujuan."

Husband On Progress: Cinta Itu AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang