Bab 9: Ternyata Sakit Juga

344 23 1
                                    

Gambar diatas adalah restoran Jepang, tempat Omar membuat janji dengan Laila.

.
.
.

'Lidah adalah senjata yang paling berbahaya, kau bisa melukai seseorang bahkan sebelum kau menyadarinya.'

.
.
.

Omar POV

Sebenarnya ada keraguan yang menggelayutiku saat aku pergi ke restoran Jepang tempat dimana aku akan menemui Laila dan membicarakan masalah perjodohan kami yang aku rancang sendiri. Aku merasa bahwa hal ini terlalu cepat bagiku, bahkan bagi Laila. Dia masih belum mengenalku, dan hal itu mungkin akan menjadi kelemahanku, Laila bisa jadi langsung menolak tanpa pikir panjang. Aku juga tidak tahu apakah dia memiliki konsep yang sama denganku mengenai pernikahan dan berkeluarga.

Argh... Bagaimana jika Laila menolak?! Apakah aku siap menerima keputusannya? Ya Allah, bagaimana bisa aku membiarkan hatiku terikat pada Laila bahkan sebelum aku bertegur sapa dengannya? Apa yang harus aku lakukan jika Laila menolak proposalku? Atau bahkan tidak datang? Mungkinkah?

Dia sudah berjanji akan datang. Jika dia perempuan yang mengerti makna dari sebuah janji, dia pasti akan datang, meski sebenarnya dia enggan. Janji adalah hutang yang harus dibayar.

Membuka pintu mobil, aku meminjam mobil ayahku, mobil sedan biasa, BMW 320i 2.0 sport berwarna hitam metalik keluaran tahun ini, 2017. Aku segera menyalakan mesin mobil dan mulai melaju pelan meninggalkan rumah orangtuaku.

Entah apa yang membuatku ingin mengendarai mobil kesayangan ayahku itu, mungkin karena aku tak ingin menakuti Laila nantinya jika aku membawa mobil sportku saat mengantarnya pulang setelah kami selesai makan siang. Aku tidak ingin dia menuduhku sombong atau semacamnya. Aku ingin menjadi laki-laki sederhana untuknya, laki-lakinya.

Aku mengenakan setelan yang kasual dan mungkin terbaikku. Jeans biru gelap yang sobek di lutut kanannya, kemeja putih keabu-abuan, sepasang sepatu Nike putih polos, jam tangan silver yang paling aku sukai dari semua koleksi jam tanganku, dan, kaca mata coklat. Dengan Bismillah, aku niatkan hatiku untuk menerima apapun yang akan terjadi nanti. Entah Laila akan menerima ajakan ta'aruf ku, dan tentu saja dengan komitmen bahwa dia akan mempertimbangkan pernikahan diantara kami atau menolakku. Kuharap Laila tertarik kepadaku, meski untuk saat ini hanya kepada ketampananku saja. Setidaknya ketampananku akan membawaku kepada impianku, menjadi suami Laila. Suatu saat nanti, Laila akan mencintai semua yang ada pada diriku, baik burukku, InshaAllah, jika kami diberi kesempatan untuk saling melengkapi kekurangan kami dalam ikatan suci pernikahan.

Ya, Allah. Aku amat menginginkan Laila! Apa yang harus aku lakukan?

Ya, kuserahkan semuanya kepada Allah. Aku telah berusaha melakukan apapun, segala cara untuk menjadikan Laila istriku, jika Allah memiliki rencana lain yang jauh lebih baik untuk kami, InshaAllah aku akan menerimanya, meski aku akan membutuhkan waktu yang mungkin cukup lama. Kupikir ini pertama kalinya aku jatuh cinta dan mungkin pula akan menjadi satu-satunya.

Mungkin...

Aku tidak akan pernah tahu apa yang menungguku dimasa depan, aku hanya bisa berusaha untuk melakukan yang terbaik agar apa yang terjadi dimasa depan adalah apa yang aku idamkan saat ini.

Belum lama aku mengendarai mobil ayah, secara tiba-tiba saja mobil ayah berhenti, Alhamdulillah aku masih berada di jalanan perumahan yang sepi sehingga tidak menganggu arus lalu lintas atau bahkan menyebabkan kecelakaan. Dan ketika kuperiksa bagian indikator bahan bakar, ternyata habis, kurasa ayah tadi malam mengingatkanku. Ah, aku terlalu sibuk memikirkan Laila. Lihatlah apa yang terjadi?

Well...

Mengambil ponsel yang aku letakkan di saku kemejaku, aku menelpon supir keluarga, pak Dimas.

Husband On Progress: Cinta Itu AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang