Omar POV
Sebenarnya aku sudah tidak tahan lagi ingin melihat Laila, berbicara padanya atau apapun itu asal masih berhubungan dengannya. Hanya saja dengan masalah di kantor yang baru-baru ini mencuat dan ancaman maling berdasi serta persiapan untuk meeting klien membuatku kesulitan untuk melakukannya. Sebenarnya ada jika saja aku mau meluangkan waktu.
Tetapi,
Laila adalah perempuan yang mudah terjebak oleh perasaannya sendiri. Emosinya masih tidak stabil. Aku yakin ia marah karena pada akhirnya pergi ke Bogor tanpaku. Sesuatu yang aku sesali namun tak bisa dihindari. Aku harap kiriman kecilku itu mampu meluluhkan hatinya dan ia bersedia untuk memaafkanku. Sekarang? Ah, aku jadi tak berani untuk meneleponnya. Bagaimana kalau ia tak mau mengangkat atau lebih buruk lagi kami bertengkar? Akan sangat buruk nantinya karena aku tak bisa langsung meminta maaf kepadanya karena jarak kami yang saling berjauhan.
Nanti sajalah. Bukankah ia sendiri yang mengatakan agar aku tidak menganggunya selama seminggu ini? Aku mengabulkan permintaannya. Harusnya ia berterima kasih.
"Selamat siang, pak!" Seru Dinda dari seberang ketika aku meneleponnya saat jam makan siang. Harusnya Laila sudah berada di rumah baru kami. Melakukan tugasnya.
"Siang, Din," jawabku tegas. "Jadi gimana, Ibu Laila menyukai parcelnya tidak?" Tanyaku sedikit was-was, tetapi aku berhasil menutupinya.
"Iya, pak. Semua makanan yang bapak kirim adalah kesukaan ibu Laila," terang Dinda terdengar bersemangat. Dadaku menghangat. Tentu saja karena aku memastikan semua hal adalah kesukaannya. Jika tidak bagaimana mungkin perempuan yang sulit itu akan jatuh hati padaku. Aku hanya berharap tindakanku membuahkan hasil dan mempercepat proses kedekatan kami. Jujur aku tak sabar ingin membawanya pulang sebagai istriku.
"Baguslah. Sekarang apa yang dilakukan ibu Laila? Dia tidak menemukan kesulitan selama di sana, 'kan?"
Aku mendengar tawa pelan sebelum Dinda pura-pura terbatuk, "Tidak, pak. Semua berjalan lancar."
Aku mengangguk, "Bagus-bagus!" Sahutku puas dengan berita yang aku terima. "Oh, iya. Saya tidak bisa ke sana, tolong jangan beritahu ibu Laila dulu. Nanti kalian langsung berangkat ke Bali saat resepsi pernikahan Saif. Saya sudah menyiapkan tiketnya. Nanti saya akan berangkat sehari sebelumnya untuk meeting dengan klien."
"Baik, pak. Nanti saya infokan ke ibu."
"Jangan. Jangan bilang dulu!" Potongku cepat. "Saya akan memberitahunya sendiri," imbuhku. Aku harap aku masih memiliki harga diri di depan Dinda.
"Baik kalau begitu, pak," sahut Dinda patuh. Aku mengangguk puas. Dinda memang bisa diandalkan. Tidak rugi aku memberinya bonus yang menarik tiap tahunnya. "Pak, ini ada ibu Laila di samping saya, mau bicara sama bapak katanya," kata Dinda setelah beberapa saat.
Aku menghela napas, seperti aku memang tidak bisa menghindarinya terlalu lama, "Ya, serahkan ponselnya... " kataku menyerah pasrah. Bersikaplah jantan Omar!
"Kamu lupa nomer teleponku?" Nada biacaranya biasa saja, tetapi tentu aku sudah cukup mengenalnya untuk mengetahui bahwa ia sedang kesal. Seketika aku tahu, aku sedang berbicara dengan kekasih hatiku itu. Aku menarik napas panjang seolah-olah hal itu mampu membantuku dalam situasi seperti ini. Ia marah. Mungkin benar-benar marah.
"Maaf, Laila, tapi pekerjaanku di sini banyak," sahutku beralasan. "Jadi gimana? Kamu menyukai tempatnya?" Tanyaku tenang. Aku tidak boleh terpancing emosi. Situasinya sudah cukup buruk.
"Tempat apa?" Nadanya bosan.
Aku kembali melepas napas berat, berat berbicara dengan Laila jika boleh jujur. "Ya rumah baru kita,"jawabku santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband On Progress: Cinta Itu Ada
RomanceOmar, anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Keluarganya, lebih tepatnya sang ibu memintanya untuk segera pulang membawa menantu, bahkan telah memilih beberapa kandidat yang menurutnya pantas menjadi menantu dan istri dari putra kesayangannya itu...