Bab 31: Belum bisa move on

250 20 1
                                    

Laila POV

Minggu Pagi, Shelter Kandang Badak.

Saat mataku terbuka pertama kalinya pagi itu, aku mencium wangi kopi. Aku melihat ponselku, dan menyalakannya. Ternyata sudah jam setengah empat pagi. Aku merasa tubuhku sedikit kaku, tetapi setelah mandi air panas kemarin, aku lega. Tubuhku kembali normal. Biasanya kami hanya bermain air alias cuci tangan dan cuci muka, tetapi kemarin, entah mengapa aku, Dania dan Anya ngeyel mau mandi di sana. Akhirnya, kami terpaksa meminta Akbar dan yang lain untuk membawakan tas milik kami karena kondisi kami basah kuyup. Syukurlah, sahabat kami itu laki-laki perkasa, jadi meski membawa dua buah tas carrier sekaligus bukan masalah bagi mereka. 

"Dan... Dania bangun!" seruku seraya mengoyak pelan bahu Dania. Tempat Anya sudah kosong. Aku mendengar suaranya di luar.

"Lay, sudah bangun, Lay?" teriak Anya pelan.

"Hemmm," sahutku.

"Buruan, ayo temani aku ke kamar mandi." 

Aku meraba-raba tempatku tidur, mencari kerudungku. "Sebentar," jawabku singkat.  Aku mengikat kembali kerudungku lalu kembali mengoyak tubuh Dania, herannya, dia tidak bergerak sama sekali. "Dan, bangun, ayo ke kamar mandi, bentar lagi kita summit."

"Hmmm."

"Bangun, nanti kamu ditinggal loh!"

"Hmmm," Dania mengerang lalu membalik badannya, tapi tidak bagun. "Lima menit lagi."

"Lay!"

"Bentar!"

"Lay, cokelat panasmu sudah siap, spesial buatan Arial!" goda Akbar.  Lalu tak selang berapa saat aku mendengar tawa mereka. 

Aku hanya bisa mendesah. "Iya-iya!" balasku setengah teriak, masih dari dalam tenda "Dan, banguuunnn!" Aku membuka resleting SB-nya. 

"Ih, dingin tahu!" gerutu Dania. 

"Ya makanya buruan bangun!" omelku lalu merangkak keluar dari tenda. Cukup puas setelah membuat indra Diana menyala.

Di luar tenda, mereka telah menyiapkan makanan hangat untuk pagi yang dingin mengigit ini. Aku harus mengeratkan jaketku untuk menghalau dingin yang sia-sia saja. Dingin yang menjalar dari kakiku yang hanya dibalut kaos kaki tebal, berhasil membuatku menggigil.

"Kita ke atas jam berapa jadinya?" tanyaku dengan suara parau. 

"Nanti jam empat, biar kita dapat sunrise," sahut Akbar.

Kemarin sore, kami summit ke gunung Pangranggo dan berhasil melihat galaksi bima sakti dari lembah Mandalawangi. Sayangnya, kami tidak bermalam di sana karena Anya adalah seorang penakut. Sebab di sana ada makam beberapa pendaki yang kehilangan nyawanya saat mendatangi gunung cantik itu. Padahal, dari dulu aku selalu ingin menginap di tempat itu, tetapi tidak pernah kesampaian. Kami hanya bersistirahat sekaligus menunggu waktu salat Isya lalu turun.

Bagaimanapun, kamu harus segera beristirahat karena pagi ini kami akan mengucapkan selamat pagi dari gunung Gede. Semoga saja cuacanya cerah dan tidak terlalu dingin. 

Kehangatan yang ditawarkan secangkir cokelat panas tadi telah lenyap. Aku merasa tubuhku menyerap semua hawa dingin di sekitarku.

"Gila, ini, sih, dingin banget!" Gerutu Anya. Dania masih molor di tenda.

"Iya. Kalau sedikit hujan mungkin akan lebih hangat hawanya."

"Hujan kok hangat!" Omel Anya. "Ya udah, kamu duluan. Aku tunggu di sini."

"Loh, bukannya kamu yang mau pee?" Tanyaku.

"Kamu duluan saja, aku mau pemanasan dulu."

Aku tahu itu hanya omong kosong, tapi aku tetap menurut dan masuk ke dalam toilet umum itu dengan kaki kiri masuk lebih dulu sesuai sunnah.

Husband On Progress: Cinta Itu AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang