Omar POV
Kami disambut oleh beberapa karyawan resort. Tempat ini yang menawarkan keindahan alam pulau ini yang sudah dikenal dunia. Satu diantaranya adalah sepupuku, Hasan. Adik Haidar. Dia adalah satu-satunya laki-laki yang bertanggungjawab selain pamanku. Kedua kakaknya, well, Haidar masih terlalu egois, dia berlama-lama menikmati masa mudanya hingga menunda waktu kelulusannya. Sebuah kesengajaan yang direncanakan dengan matang.
Sementara Hamza, dia kabur ke London dan sepertinya belum ada niatan untuk kembali. Berbeda dengan kedua kakaknya, Hasan segera menawarkan diri untuk mengurus resort ini setelah dinyatakan lulus dari salah satu kampus terbaik di Singapura.
Laila berdiri di sampingku tetapi agak ke belakang. Entah apa masalahnya denganku hingga dia tak mau berdiri sejajar denganku. Sepertinya Laila masih marah karena kejadian seminggu yang lalu dan mungkin pagi ini. Ya, aku memang sengaja mengacaukan kencannya. Lagipula lancang sekali gadis itu pergi minum kopi dengan seorang laki-laki, lebih buruk lagi, berdua saja! Sementara aku... Well, kami akan menikah bukan? Tidak seharusnya dia menemui laki-laki lain di belakangku. Siapapun itu. Teman lama sekalipun!
Tunggu, tadi pipinya merona saat keluar dari restoran hotel. Penyebabnya karena kemarahannya untukku, bukan laki-laki itu, 'kan?
Seberapa dekat mereka hingga Laila yang kupikir menjaga jarak dari mahkluk Adam itu ternyata berani berduaan dengan laki-laki yang belum halal?
Astaghfirullah!
Apa lagi ini. Satu masalah belum selesai kini muncul masalah baru. Aku harus bicara serius dengan Laila. Berdua saja. Seharusnya jika dia bersedia berduaan dengan laki-laki itu, gadis rewel itu juga tak akan keberatan berduaan denganku untuk membicarakan masalah kami. Dan lagi tujuanku baik, kami akan membicarakan masa depan. Aku yakin Allah akan memahami maksudku.
Ya Allah, aku ingin masalah ini segera selesai. Laila menyetujui dan kami bisa menikah tiga bulan lagi, bulan depan lebih baik lagi. Aku sudah tak sabar dan aku tak mau merasa cemas setiap hari. Setiap kali jauh darinya. Bagaimana jika ia bertemu dengan laki-laki lain? Laki-laki yang lebih menarik?
Tunggu!
Bukankah aku sangat menarik? Wajahku? Tubuhku yang atletis? Pekerjaanku? Keluargaku? Dan kekayaanku. Aku yakin, aku pilihan terbaiknya. Dan aku akan memberikan apapun yang Laila inginkan selama aku mampu untuk melakukannya dan itu legal juga halal.
Aku pikir aku adalah calon suami terbaik yang bisa Laila miliki, tetapi bagaimana jika Laila memiliki pendapat yang berbeda?
Tidak. Pendapat Laila tidak begitu berarti, selama Allah meridhoi hubungan kami. Jika Allah menginjinkanku untuk menikahinya, maka pada akhirnya apapun yang terjadi, masalah apapun yang menghadang, bagaimanapun pendapat Laila-kami akan menikah. Tetapi, jika Allah memiliki rencana lain untukku dan untuk Laila, maka ... InshaAllah aku iklas. Tetapi aku rasa, butuh waktu lama untuk sampai pada titik itu.
"Ini, Laila, desainer interior eksekutif kita, dan ini Dinda asistennya," aku memperkenalkan mereka.
Hasan maju selangkah dengan senyum cerah, tangan panjangnya terulur untuk meraih pergelangan tangan Laila. Tetapi, Hasan harus mendapat kenyataan pahit saat Laila menolak uluran tangan itu dengan senyuman sopan. Aku tak bisa menghentikan sudut bibirku yang naik ke atas, bangga atas sikap profesional Laila, sebagai seorang muslimah. Dia memang tidak seharusnya menyentuh seseorang yang bukan muhrimnya. Dan tidak seharusnya dia pergi minum kopi dengan temannya itu!
"Hasan," Hasan terkekeh pelan, dia mengaruk belakang telinganya untuk menutupi kecanggungan yang terjadi.
"Laila," Laila tersenyum sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband On Progress: Cinta Itu Ada
RomantikOmar, anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Keluarganya, lebih tepatnya sang ibu memintanya untuk segera pulang membawa menantu, bahkan telah memilih beberapa kandidat yang menurutnya pantas menjadi menantu dan istri dari putra kesayangannya itu...