Bab 8: Idaman Banyak Perempuan

355 25 0
                                    


'Boleh jadi kamu membenci sesuatu
namun ia amat baik bagimu,
dan
boleh jadi kamu mencintai sesuatu,
Namun ia amat buruk bagimu,
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.'

QS-2:216

.
.
.
Omar POV

Aku tiba di rumah Daud tepat pukul sembilan lebih lima puluh menit. Aku datang sepuluh menit lebih awal rupanya. Mengambil nafas panjang, aku menekan tombol di dinding tiga kali setelahnya.

Satu detik. Dua detik. Oh, ini tidak masuk akal! Untuk apa aku pergi ke acara semacam ini? Bukankah akan lebih masuk akal jika aku memberinya hadiah berupa bonus bersamaan dengan pengajian saja? Tak perlu repot-repot membawa angpao seperti sekarang. Ah, Laila. Aku melakukan ini demi Laila. Laila adalah sahabat karib Nana. Dia pasti hadir di hari bahagia sahabatnya. Dan aku ingin melihatnya, kupikir aku merindukannya. Setelah tiga hari kemarin dia menghindari ku, tak melihatnya selama itu membuatku ingin segera membawanya pulang dimana aku bisa melihatnya sepanjang hari. Dia bahkan tak berani menemuiku saat aku memintanya untuk menemuiku siang itu. Laila... Laila...

Aku tersenyum membayangkan wajah Laila saat pertama kali dia bersuara, ketika dia minum air dari botol minumku. Wajahnya saat itu sungguh sangat mengemaskan. Kupikir aku tak akan bisa melupakannya sepanjang sisa hidupku. Dan senyumku menghilang saat pintu di hadapanku bergerak. Seseorang dengan kerudung hitam yang terlanjur familiar oleh hatiku berdiri di celah sempit yang dia buat saat membuka pintu.

"Assalamualaikum, Laila..." Gumanku memberi salam. Kulihat pipinya sedikit memerah ketika kami saling berpandangan selama beberapa saat sebelum dia menundukkan pandangannya.

"Waalaikumsalam, masuklah." Suaranya lirih. Aku melangkah lebih dulu membiarkannya menutup pintu, aku tahu dia pasti akan mengikutiku.

Aku berdiri diam ketika mencapai ruang tamu, menunggu Laila yang masih dalam perjalanan ke arahku. Saat dia berdiri di sampingku, dia membuka mulut mungilnya lagi. "Tamunya, belum banyak yang datang, pak. Bapak silakan duduk dulu, bapak mau minum apa?"

Aku mengedarkan pandanganku sekilas dan menemukan sosok Haidar yang tengah duduk di salah satu sofa, menatap Laila dan aku bergantian lalu tersenyum kepada Laila. Ini tidak masuk akal, bagaimana mungkin Haidar tersenyum kepada Laila jika mereka tak saling mengenal sebelumnya? Dan darimana mereka bisa saling mengenal? Kapan? Tidak mungkin hal itu bisa terjadi. Haidar bahkan baru kembali ke Jakarta kemarin malam untuk menghadiri acara ini, tidak mungkin mereka berteman kecuali ada yang menjembatani mereka! Dan... shit!

Tanpa aku sadari aku telah menatap Laila dengan dingin, jangan salahkan aku, aku tidak senang dengan kenyataan bahwa Haidar tersenyum kepada Laila! Atau bahkan laki-laki manapun. Kurasa aku harus menyembunyikan Laila di dalam rumah nanti ketika kami berhasil menikah. Aku tak ingin ada laki-laki lain yang berbicara bahkan tersenyum kepadanya. Cukup aku saja.

Tiba-tiba saja Laila tertawa aneh, tawa asal yang tak tulus, "Biar saya panggilakan Nana dan suaminya." Ucapnya buru-buru lalu melesat pergi entah kemana. Aku terpaku di tempat aku berdiri dengan alis berkerut dalam.

"Halo, Bang!" Seru Haidar dari tempat dia menonton. Dia tersenyum jahil, seolah mengerti apa yang terjadi beberapa menit lalu dihadapannya, aku dan Laila.

Tanpa suara aku duduk tak jauh darinya, "waalaikumsalam..." Jawabku agak jengkel, tak puas dengan caranya memberi salam juga kenyataan bahwa dia tersenyum kepada Laila. Aku harus segera meluruskan sesuatu disini.

"Assalamualaikum, pak Omar!" Ejeknya menirukan suara perempuan yang kupikir terdengar seperti suara Laila.

Aku melemparinya dengan bantal yang aku pegang. "Sendiri?" Tanyaku karena aku juga tidak mengira bahwa Haidar bakal hadir di acara seperti ini.

Husband On Progress: Cinta Itu AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang