'Apa yang ditakdirkan untukmu,
Akan menemukan jalannya kepadamu'
. . .
gambar diatas kamar Omar. . .
Omar POV
Aku kembali ke kantor satu jam kemudian setelah mampir di sebuah kafe untuk mengisi perut dan memperbaiki moodku. Laila berhasil mengacak-acak moodku siang itu. Dan ibuku tentu saja semakin merusak suasana hatiku. Alhamdullilah ibu bisa sedikit pengertian.
"Dinda?" Kataku begitu aku tiba di meja Dinda yang bertepatan dengan depan pintu ruang kerjaku.
"Iya, pak?"
"Ibuku dan tamunya sudah pulang?" Tanyaku memastikan. Aku hanya tidak ingin mendapatkan kejutan yang kedua setelah pertemuanku dengan Laila.
Dinda tersenyum gugup. "Ibu dan tamu bapak masih menunggu di ruangan bapak." Kata Dinda lirih. Sepertinya dia takut dengan respon yang akan aku berikan setelah mendengar berita mengejutkan itu. Tidak masuk akal. Ibu menungguku selama satu jam lebih.
"Baiklah." Kataku pasrah, mendesah malas. "Oh, tolong berikan ini kepada Laila." Imbuhku.
"Laila?"
"Iya. Laila. Ini ponselnya. Dan siapkan kopi atau teh untuk ibu dan tamuku." Perintahku.
"Teh dan snacknya sudah, pak."
"Oh, baiklah. Kalau begitu tolong antarkan ini ke Laila." Aku menyerahkan iPhone jet black yang sama persis dengan milikku itu kepada Dinda saat Dinda hanya menatapku bingung.
"Baik, pak."
"Ah, satu lagi. Telpon ke ruanganku lima menit lagi, katakan akan ada rapat dengan CSO."
"Tapi kan, hari ini tidak ada rapat." Protesnya.
"Lakukan saja perintahku." Ucapku tegas lalu berjalan ke arah pintu ruanganku.
My dear mother...
Menarik nafas panjang, sekalian menata ekspresi wajahku, aku berhenti sejenak tepat di depan pintu. Menghitung mundur dan berdoa semoga Salma adalah perempuan yang jauh dari standar calon istri favoritku, dengan begitu akan lebih mudah untuk menolaknya.
"Assalamualaikum, mom... " Sapaku tersenyum sesaat, aku mengabaikan tatapan tidak senangnya dan merangkulnya setelah mengecup kedua pipinya.
"Waalaikumsalam." Balasnya, perempuan yang duduk di sofa di samping ibu juga menjawab salamku.
Aku kembali menegakkan tubuhku, tersenyum kecil kepada ibuku lalu beralih menatap Salma.
"A..."
"Omar, rambutmu itu, kamu berjanji untuk memangkasnya. Kenapa kamu malah memakai bandana?" Celetuk ibuku dengan nada tinggi, aku baru saja akan menyapa perempuan pilihan ibuku itu.
"Ah, ini..." Aku merapikan rambutku yang tergerai bebas dan memasang bandana hitam metalik sekali lagi agar tak ada rambut liar yang menghalangi pandanganku. "Nanti, mom."
Ibu menyergitkan alisnya. Jelas dia tidak senang dengan penampilanku yang menurutnya tidak pantas untuk seorang CEO sepertiku. Dan lebih tidak senang lagi ketika aku memanggilnya mom.
"Nanti, kapan?" Tegasnya.
"Kalau Omar memutuskan untuk merubah style rambut Omar. Umi jangan khawatir. Hari itu pasti akan datang karena Omar mudah bosan." Jawabku, melirik Salma saat kalimat terakhir keluar dari mulutku. Semoga perempuan itu mengerti kode yang aku kirimkan.
"Terserahlah." Ibuku berkata acuh, "Oh, dan ini Salma."
"Ya, Omar sudah tahu." Jawabku lalu duduk. "Ada apa umi ke kantor? Lima menit lagi Omar ada rapat." Lanjutku, mengusir mereka dengan halus, itupun kalau ibu mengerti maksud tersembunyi dari ucapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband On Progress: Cinta Itu Ada
RomanceOmar, anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Keluarganya, lebih tepatnya sang ibu memintanya untuk segera pulang membawa menantu, bahkan telah memilih beberapa kandidat yang menurutnya pantas menjadi menantu dan istri dari putra kesayangannya itu...