.
.
.
.
.Omar POV
Aku menatap Laila tidak percaya, apa yang dia katakan? Agar istriku tidak digigit nyamuk? Darimana dia mendapatkan ide gila itu? Aku sungguh tidak habis pikir. Sebenarnya apa yang ada di kepalanya itu? Belum juga satu jam sejak dia meninggalkan ruanganku dengan isak tangis, lihatlah dia sekarang? Tertawa seolah kami tidak pernah bertengkar sebelumnya. Kemana perginya sifat cengeng, kekanakan dan ketidakpercayaan dirinya itu? Apa yang terjadi kepadanya selama belasan menit yang lalu?
Sulit dipercaya. Perempuan yang berdiri tegar dan penuh percaya diri dihadapanku ini adalah orang yang sama yang meninggalkan ruanganku dengan kedua pipi yang basah.
Aku menghela nafas, mungkin ini yang terbaik. Setidaknya aku tidak akan memiliki rasa bersalah saat dia meninggalkan kantor ini karena sepertinya dia tak mau pergi meski aku mengusirnya sekalipun. Dia... Pandai sekali memancing emosiku? Kenapa dia selalu memotong ucapanku? Membantahku? Aku atasannya, demi Allah. Aku bisa memecatnya jika aku mau.
Rapat itu berjalan lancar, aku menatap layar iPad Laila selama Laila mempresentasikan apapun yang ada di dalam iPad yang dia tunjukkan kepadaku. Aku enggan melihat wajahnya, bukannya wajahnya tak sedap dipandang, sungguh, kebalikannya malah, jika saja... Aku bisa menatapnya wajah mengemaskan itu sepanjang hari selama sisa hidupku tanpa bosan, matanya berbinar-binar ketika dia membicarakan hal yang disukainya, sesekali ada rona merah yang muncul tenggelam dikedua pipinya. Aku tak kuasa menatapnya lama-lama atau aku akan melakukan hal gila semacam melamarnya saat ini juga!
Ya Allah. Perasaan macam apa ini? Aku tidak nyaman saat melihatnya tersenyum dihadapan laki-laki lain, bahkan bersenda gurau meski aku tahu benar bahwa tidak ada hubungan apapun diantara mereka, karena Saif, setahuku dia sudah bertunangan beberapa bulan lalu. Aku bahkan sempat hadir saat itu meski hanya sebentar. Aku tidak senang dengan kenyataan bahwa semua orang yang ada di ruangan ini dibuatnya tertawa, semua orang memandang wajah eloknya.
PING!
Aku melihat ada notifikasi yang masuk, singkat, datang lalu menghilang, namun mataku sempat menangkap dari siapa dan apa isi pesan itu sebelum pesan itu menghilang dari layar yang kutatap sejak beberapa saat lalu.
Haidar!
Aku mengepalkan tangan kananku yang kosong, menahan nafas dan apapun yang berdesak-desakan di dalam dadaku. Aku meliriknya sekilas, Laila, dia tersenyum saat menceritakan seperti apa nantinya ruang makan dan dapur, dia dan aku sepakat kami akan menggunakan banyak material kayu untuk lantai dan atap, mungkin juga beberapa dinding dan beberapa perabotan. Ternyata selera kami tak jauh berbeda, hanya saja dia lebih suka warna-warna cerah sementara aku lebih menyukai warna gelap, hitam, abu-abu atau mungkin coklat dan sudah pasti bukan pink. Aku tak akan membiarkan kamarku dihiasi oleh perabotan berwarna pink!
Aku melepasnya dari tatapan mataku seraya mengambil nafas, kuabaikan pesan dari Haidar, meski aku sangat ingin mengintip, mungkin aku harus memberi kami kesempatan untuk saling mengenal terlebih dahulu juga saling percaya, dan bahwa apapun yang terjadi dan akan terjadi, jika kami berjodoh, tak akan ada satupun manusia atau apapun yang mampu memisahkan kami. Ya, aku harus menyerahkan semua kepercayaanku kepada Allah dan juga Laila.
"Bagaimana, pak?" Tanyanya tiba-tiba membuatku sedikit tersentak.
"Bagus, mungkin nanti kita bisa mengatur waktu untuk membicarakan detailnya." Entah detail apalagi yang harus kami bicarakan. Oh. Detail, bagaimana aku akan mengenalnya lebih jauh lalu melamarnya! Ya, itu dia!
Dia menyergitkan alisnya, lalu mengangguk, masih menatapku curiga selama beberapa detik berikutnya sebelum dia kembali fokus kepada perhatian orang yang ada di ruangan yang dibalut warna hitam dan putih itu. Aku memerhatikannya sekilas sebelum dia menutup presentasinya, dia bahkan sempat membagi senyum cerahnya kepada semua orang! Aku harus menasehatinya kelak ketika kami menikah, bahwa senyumnya yang terutama adalah hiburanku, bukan laki-laki lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Husband On Progress: Cinta Itu Ada
RomanceOmar, anak laki-laki pertama dan satu-satunya. Keluarganya, lebih tepatnya sang ibu memintanya untuk segera pulang membawa menantu, bahkan telah memilih beberapa kandidat yang menurutnya pantas menjadi menantu dan istri dari putra kesayangannya itu...