Bab 12: Undangan Nikah

376 22 0
                                    

.
.
.
.
.

Laila POV

'Bisakah kita berteman?'

Kalimat itu berputar-putar di kepalaku hingga keesokan harinya. Semalaman aku hampir tidak bisa tidur memikirkan ucapan langka big boss yang baru aku ketahui keberadaannya belakangan ini. Sebelumnya aku tidak tahu  jika dia adalah CEO perusahaan, kupikir dia hanya satu dari kumpulan arsitek yang diimpor oleh perusahaan.

'Bisa saja...' adalah jawabanku waktu itu, aku bingung dan tak mengerti arah pembicaraannya. Aku harusnya bisa menjawab dengan tegas dan... Bisa saja? Ah, harusnya aku menggunakan kalimat yang lebih baik dari itu. Ah, lupakan! Itu mungkin juga sekadar basa-basi! Laki-laki populer sepertinya tidak akan berteman dengan orang sepertiku tanpa ada maksud tersembunyi. Dia pasti bisa merasakan bahwa aku tak begitu menyukainya, makanya dia menawarkan persahabatan diantara kami apalagi setelah pertengkaran memalukan pagi itu? Memikirkannya saja membuatku ingin kabur pulang ke desa.

Ketika aku tiba di kantor, aku kembali diserbu pak Beni. Lina mengatakan bahwa pak Beni menungguku. Belakangan aku menjadi orang penting, semua orang mencariku!

"Assalamualaikum, pak." Sapaku begitu membuka pintu ruangan pak Beni tanpa permisi, biar saja. Aku kesal, pagi-pagi sudah harus menghadap atasan, kakiku masih pegal akibat berjalan kaki dari rumah ke kantor juga rutinitasku di tempat gym.

"Waalaikumsalam." Sahut pak Beni datar. "Duduk."

"Iya, pak." Jawabku patuh.

"Pak Omar kemarin berbicara padaku." Mulainya, "Kamu akan dipindah tugaskan ke Bogor untuk beberapa bulan kedepan. Apa kamu keberatan?"

Aku mencibir dalam hati, keberatan pun juga tidak berguna, siapa yang memiliki kuasa untuk melawan ucapan bos?

"Tidak, pak." Sahutku.

"Sebenarnya, saya kurang setuju kamu pergi ke Bogor." Kata pak Beni menatapku. "Begini saja, bagaimana kalau kamu membagi waktumu? Jadi semisal dua hari di Bogor, lalu empat harinya disini?"

"Pak Omar meminta saya untuk tinggal di Bogor selama menangani proyek rumahnya, pak." Jawabku. Enak saja aku disuruh mondar-mandir. Dikiranya ongkos Jakarta-Bogor, dia yang bayar?

"Nah, itu dia. Kalau kamu pergi ke Bogor, bagaimana dengan pekerjaanmu yang disini? Siapa yang akan menanganinya?"

"Kan, ada bapak?" Sahutku tersenyum, "Lagipula pak, proyek yang sedang saya tangani, kan hanya satu ini."

"Iya, lalu bagaimana dengan Lina? Siapa yang akan mengawasinya?"

"Desainer interior disini bukan hanya saya, loh, pak, kata pak CEO begitu." Jawabku memutar bola mata. Kesal juga dengan ejekan tersembunyi dari CEO sombong itu. "Perusahaan tidak akan runtuh hanya karena kepergian saya, bapak disini lebih berpengalaman dan tim kita juga handal-handal. Bapak tidak perlu cemas."

"Tetap saja, saya kurang setuju, siapa yang akan mengontrol semua proyek yang berjalan? Kamu lebih dibutuhkan disini daripada di Bogor, Laila. Di Bogor kamu hanya memantau perkembangan rumah, kalau disini kamu bisa mendapatkan lebih banyak pengalaman. Bagaimana kalau Lina saja yang ke Bogor?" Bujuk pak Beni.

"Bapak bicarakan saja dengan CEO. Kalau beliau setuju, saya oke-oke saja. Di Jakarta atau Bogor, sama saja. Sama-sama kerja."

"Di Bogor kamu nanti banyakan liburnya..." Guman pak Beni lirih. Aku hampir saja tidak mendengarnya. Aku menahan diri untuk tidak tersenyum apalagi tertawa.

"Kenapa, pak?"

"Pak Omar menolak permintaanku, dia hanya ingin kamu yang ke Bogor. Dia bahkan menolak saat aku berencana memintamu untuk membagi waktu." Pak Beni tampak gusar. "Ya sudah kalau begitu." Kata pak Beni tegas. "Kamu selesaikan dulu semua tugasmu disini. Tapi hanya tiga bulan, Laila. Setelah itu kamu harus kembali!"

Husband On Progress: Cinta Itu AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang